Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Kisah Perjuangan Kemanusiaan, Dokter Ini Pertaruhkan Nyawanya dan Nyawa Keluarganya

Ilustrasi/Tribunnews

Masih ingat sinetron yang menceritakan perjuangan Dokter Sartika di daerah pedalaman Indonesia? Sinetron yang diperankan oleh Dewi Yul itu sempat menarik perhatian penonton di tanah air.

Namun, perjuangan dokter di kawasan Ghouta Timur ini jauh lebih berat dan berisiko.  Di tengah pengepungan dan serangan udara di kawasan itu, sejumlah dokter dan paramedis memilih bertahan untuk menyelamatkan korban luka-luka. Lantaran takut diincar, mereka meminta nama-nama dan lokasi disamarkan.

Salah satu dokter yang bertahan dalam perjuangan itu adalah Dokter Hamid. Seluruh anggota keluarga Dokter Hamid kini tinggal di sebuah ruangan yang sesak dan temaram. Ruangan itu adalah garasi yang menempel pada bekas rumah mereka.

Bangunan yang terletak di pinggiran Ghouta Timur, dekat Damaskus, itu kini hanya menyisakan puing-puing setelah dihantam serangan pemerintah Suriah bulan lalu.

Bagaimanapun, di tengah kondisi demikian, Dokter Hamid masih pergi tiga kali sehari ke rumah sakit terdekat untuk menjalankan tugasnya. Setiap kali meninggalkan rumah, pria berusia 50 tahun itu mencium istri dan kelima anaknya sembari mengusir bayangan yang hinggap di pikirannya bahwa ciuman itu mungkin adalah yang terakhir kalinya.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Dokter Hamid melalui jalan-jalan yang dipenuhi bangunan rubuh dan tak lagi dihuni. Dia harus waspada akan potensi bahaya yang mungkin menimpanya.

Jika pengeboman berlangsung dahsyat dan banyak yang luka, dia mungkin berada di rumah sakit lebih dari 24 jam tanpa istirahat. Ketika dia menangani anak yang cedera, dia memikirkan nasib anaknya sendiri. Saat ada jeda sejenak, sang dokter menunaikan salat.

Pada Kamis (15/3/2018) kemarin, Suriah memasuki tahun kedelapan perang sipil. Lebih dari 400.000 orang diyakini telah tewas atau hilang. Tiga anak Dokter Hamid, dan banyak anak lainnya yang dibawa ke rumah sakit, tidak pernah menemukan kedamaian.

Anak yang tiba di rumah sakit acap kali mengalami luka tembak, organ tubuh hilang, luka bakar parah, atau kadang kala tidak terlihat cedera fisik namun terbujur kaku dengan bau gas yang menempel pada tubuh mereka.

“Kebanyakan anak yang tewas terkena serpihan bom di kepala atau cedera di perut. Dalam beberapa kasus saya bahkan menyaksikan luka yang menembus jantung,” ujar Dokter Hamid.

“Anak-anak ini perlu dokter spesialis bedah dan tujuh hingga 14 hari dalam perawatan intensif. Banyak yang bisa diselamatkan. Di London mereka bisa diselamatkan. Di Ghouta, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami coba menghentikan pendarahan dan membuat mereka nyaman, setelah itu kami biarkan mereka meninggal dunia.”

Disokong serangan udara Rusia, pasukan pro-pemerintah Suriah mengetatkan kepungan di sekitar Ghouta Timur, salah satu kubu terakhir pasukan pemberontak.

Sedikitnya 1.100 warga sipil telah tewas sejak rezim Bashar al-Assaf meningkatkan frekuensi serangan udara bulan lalu dan memotong kawasan Ghouta Timur menjadi tiga bagian. Para pemberontak membombardir warga sipil di kawasan yang dikendalikan pemerintah dan, menurut PBB, menggunakan penembak jitu terhadap mereka yang berupaya kabur.

Dalam wawancara melalui telepon, empat dokter dan beberapa staf medis menggambarkan bekerja di kawasan itu sebagai perjuangan keras tanpa henti untuk menyelamatkan orang dari kematian, tanpa ada ruang tersisa untuk menolong korban kehilangan organ tubuh, pandangan terbatas, atau infeksi fatal.

Pekan ini, seorang bocah lima tahun tiba di rumah sakit dengan beragam luka serta patah di kaki dan lengannya. Dr Hamid menjahit luka-luka bocah itu, kemudian mengamputasi satu tangan dan satu kakinya di bagian paha atas.

“Ini masa depan dia,” kata Dokter Hamid. Bocah itu hidup, dan itu adalah kesuksesan.

Pada hari yang sama, anak perempuan berusia 18 bulan tiba di rumah sakit dengan luka menganga di bagian paha sehingga pembuluh arterinya terpotong. Dengan susah payah Dokter Hamid mencoba menyambungkan pembuluh di kakinya dan memulihkan aliran darah, namun dia tidak mampu menjahit pembuluh tersebut dengan baik.

“Kita tidak tahu di masa depan apakah dia bisa berjalan atau kakinya hanya menjadi foto. Namun, dia hidup,” ujarnya. Itu, lagi-lagi dianggap kesuksesan.

Kondisi tersebut tidak terjadi terus-menerus. Pekan itu, lima bocah yang ditangani Dokter Hamid semuanya meninggal dunia.

“Ketika kami menangani anak-anak, kami berharap Allah menjaga mereka,” ucapnya disertai helaan napas yang panjang dan berat. “Maafkan saya, ini tidak bisa diungkapkan kata-kata.”

 

Exit mobile version