Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Pertemuan Solo: Mengganti Tanggal HPN itu Namanya Kurang Ajar!

Para wartawan yang tergabung dalam PWI dari berbagai kota di Jawa menggelar unjuk rasa di Monumen Pers Nasional, Senin (30/4/2018). JSNews

SOLO-Ratusan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari berbagai kota di Jawa berkumpul di Monumen Pers Nasional (MPN) Solo, Senin (30/4/2018). Mereka menggelar sarasehan dan aksi unjuk rasa menolak rencana pengubahan tanggal peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diusulkan segelintir pihak.

“Mengubah tanggal peringatan HPN dari tanggal 9 Pebruari itu namanya kurang ajar, itu namanya gak paham sejarah. Mengingkari sejarah perjuangan pers nasional. Mengganti tanggal itu harus melalui kajian bukan karena dilandasi emosional,” ungkap Ketua PWI DIY, Sihono.

Dalam kesempatan itu, mereka menyebut tanggal HPN 9 Pebruari sudah harga mati bagi PWI. Mereka mempersilakan kalau ada pihak yang merayakan HPN di luar tanggal 9 Pebruari. “Jangan mengganggu yang sudah berjalan puluhan tahun dan legitimate,” ungkap Sihono.

Senada diungkapkan Ketua PWI Jawa Tengah, Amir Machmud. “Kami secara tegas menyatakan tidak bakal mengubah HPN selain 9 Februari. Tanggal tersebut memiliki sejarah panjang, bagaimana wartawan Indonesia berjuang di masa bergejolaknya pemerintahan Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan asas proporsional, sosiologis dan sejarah,” jelas ketua PWI Jawa Tengah, Amir Machmud NS.

Amir mengakui seluruh PWI yang berada di tiap provinsi telah sepakat menetapkan tanggal tersebut sebagai HPN. Dengan demikian tanggal tersebut menjadi harga mati yang perlu dipertahankan karena berkaitan dengan nilai sejarah.

Anas Syahirul, Ketua PWI Solo menambahkan, gerakan mempersoalkan tanggal peringatan HPN adalah program laten yang akan terus diusung pihak-pihak tertentu lantaran dinilai tidak menguntungkan pihak tersebut. “Jadi bukan karena alasan yang rasional melainkan karena faktor ketidaksukaan dan tidak menguntungkan,” katanya.

“Langkah kami tetap bersikukuh dengan penetapan tanggal itu. Seluruh anggota PWI di Indonesia sudah sepakat menjaga tanggal tersebut sebagai hari profesi kewartawanan di Indonesia,” tambah Anas.

Usai sarasehan, mereka kemudian menggelar orasi di di depan Gedung Monumen Pers Nasional (MPN). Dengan membentangkan spanduk dan poster berisi penolakan, mereka bergantian berorasi. Juga dibacakan hasil-hasil rekomendasi dari sarasehan tersebut.

Anggota PWI dari berbagai provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan kota lainnya, meneriakkan yel-yel sebagai bentuk dukungan kepada PWI pusat untuk menyatakan sikap saat rapat pleno bersama Dewan Pers pada 8 Mei mendatang. Spanduk bertuliskan HPN 9 Februari, Harga Mati juga digelar pada sarasehan itu.

Para anggota PWI dari berbagai kota itu juga mengancam akan memboikot kegiatan Dewan Pers jika lembaga itu memfasilitasi upaya perubahan tanggal HPN.

“Aspirasi dan pernyataan sikap yang kami lakukan itu harus ada tindak lanjut dari Dewan Pers. Kami siap memboikot kegiatan dewan pers di DIY, jika mereka belum memberikan pernyataan terkait perubahan tanggal tersebut,” ungkap Sihono.

Plt Ketua Umum PWI, Sasongko Tedjo juga turut hadir dalam kegiatan tersebut. Dia menyatakan HPN yang dilakukan selama ini memberi kontribusi yang besar bagi pemerintah daerah yang menjadi tuan rumah. “Jadi dari sisi kemanfaatan bukan hanya dinikmati oleh wartawan saja tetapi juga pihak-pihak lain,” paparnya.

Sementara itu, pengamat media Solo, sri Hastjarjo mengungkapkan, penetapan HPN 9 Pebruari merupakan permasalahan yang yang tak kunjung usai. “PWI harus menyiapkan argumen yang logis kepada masyarakat. Sehingga publik memahami penetapan tanggal tersebut sesuai dengan sejarah dan dapat diterima oleh khalayak luas,” ungkapnya. (marwantoro)

 

 

Exit mobile version