SRAGEN- Proses mutasi perangkat desa (Perdes) yang digelar serentak dengan menggandeng Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS Solo beberapa waktu lalu, terus menyisakan cerita. Tak hanya kekecewaan dan kejanggalan, proses mutasi yang ditengarai sarat permainan itu juga menyajikan kisah pilu bagi para perangkat yang merasa jadi korban ketidakadilan proses mutasi.
Cerita itu mencuat saat sejumlah Perdes menyampaikan uneg-uneg dan aspirasi soal kejanggalan mutasi di forum audiensi dengan tim Pemkab dan DPRD awal pekan ini.
Kisah sedih pertama diungkap Asmuri,Kaur TU dan Umum Desa Purworejo, Gemolong. Dia yang melamar Sekdes dan sudah empat tahun jadi PJ (Penjabat sementara) Sekdes, harus menerima pil pahit usai dinyatakan tidak lulus dengan nilai hanya 40.
Harapan besarnya dan warga yang sejak awal mendukungnya menjadi Sekdes, hancur lebur. Persiapan mati-matian untuk menghadapi ujian, tes komputer dan doa, seolah tak berarti. Kejanggalan nilainya dan transkrip hanya fotokopian serta bocoran bahwa dirinya tak mungkin diluluskan, membuat rasa legawanya sirna.
“Yang masih mengganjal sampai sekarang soal nilai yang hanya fotokopian itu. Terus terang dengan hasil ini, kami jadi beban mental sangat berat di masyarakat. Bayangkan sudah meje (jadi PJ) 4 tahun, tiba-tiba tidak diluluskan dan nilainya hanya 40. Padahal saya ukur sendiri soal dan tes itu kalau hanya nilai 60, saya mestinya dapat,” ujarnya.
Bahkan saking malu dan tekanan psikis, ia sampai nggak kuasa untuk datang di pelantikan. Ia mengaku nggak kuat dan nggak bisa menahan beban mental di hadapan masyarakat yang sangat berharap dirinya bisa jadi Sekdes.
“Saya nggak menyalahkan siapapun. Hanya saja, saya masih mengganjal karena sehari sebelum ujian, sudah ada yang bilang dapat bocoran kalau di 5 Desa di Gemolong termasuk Purworejo, semua calonnya nggak akan diluluskan. Nyatanya memang benar. Ini yang harusnya dijelaskan dari Pemkab atau UNS. Karena kami seperti sudah dizalimi, pengabdian bertahun-tahun, jadi PJ seakan nggak ada artinya. Itulah yang membuat kami terpecut sampai mencelat,” ujarnya.
Senada, kepedihan juga diungkapkan, Bejo Sutrisno. Perangkat desa di Girimargo Kecamatan Miri. Ia juga tak habis pikir, ketika dirinya yang menguasai komputer, bisa mengerjakan soal dan tahapan dengan baik, juga tidak lulus.
Padahal selama ini, ia selalu dijadikan tumpuan desa untuk mengerjakan semua administrasi dan sebagian besar tugas desa. Dirinya juga sudah merangkap jadi PJ Sekdes beberapa tahun sehingga lembaga desa, warga mendorongnya untuk ikut mutasi dan menjadi Sekdes definitif.
“Tapi setelah tahu hasil uji kompetensi saya nggak lulus, warga juga kecewa. Saya juga drop. Saya hanya dapat nilai 58. Silakan bisa ditanya, wong ngarit saja juga kecewa tahu saya nggak diluluskan karena sejak awal warga dan lembaga desa yang mempromosikan saya, ” ungkapnya.
Saat mencoba menanyakan ke Kades, ia makin putus asa karena Kades merasa tak punya wewenang dan tak dilibatkan di penilaian PDLT. Ia juga menuturkan transkrip nilai yang diterima juga hanya fotokopian seperti di desa-desa yang calonnya tak lulus.
Dampak dari kegagalannya itu, membuat BPD saling tuding dan renggang dengan Kades. Ia juga kecewa karena ternyata perjuangan dan pengabdiannya bertahun-tahun dan menjabat PJ, seolah tak ada nilainya karena dikalahkan oleh nilai dari akademisi.
“Saking nggak kuatnya, saya sempat ijin ke Pak Kades saya nggak masuk beberapa hari. Saya malu sama warga sama lembaga desa. Saya ingin menenangkan diri dulu. Yang saya katakan ini semua dari lubuk hati yang paling dalam. Semoga ini menjadi pembelajaran dan renungan bagi pihak Pemkab dan UNS karena telah mengecewakan masyarakat, ” tukasnya.
Bejo juga menyebut di Miri, ada tiga desa yang calon Sekdesnya tak diluluskan. Yakni Doyong, Geneng dan dirinya sendiri. Semua calon yang sebenarnya memiliki kemampuan, secara kontroversial tidak diluluskan.
“Semua juga ngedrop lihat hasilnya. Pada nggak percaya,” tuturnya.
Surono (48) Kaur Pemerintahan di Purworejo, mengisahkan saat mencoba mengklarifikasi ke Pemdes, dirinya serta dua rekannya yang sama-sama tak diluluskan, malah dibully dan disidang di desa dengan dikatakan bodoh.
“Kami sebenarnya nggak ada ambisi jadi Sekdes. Tapi semua juga demi warga karena mereka mendorong kami untuk ikut mutasi dan dari tiga calon pokoknya harus ada satu yang jadi. Nyatanya tiga-tiganya nggak diluluskan semua, nilainya juga sangat janggal. Hanya 40 dan 58. Mohon agar ini bisa diklarifikasi kenapa nilai kami hanya fotokopi. Karena ada desa lain yang nilainya lembaran asli. Ini demi nurani dan keadilan umat, ” ungkap Ahmad Dalail, perangkat desa lainnya.
Skenario Menghindari Gugatan
Anggota Komisi I dari PKS, Aris Surawan memandang beberapa hal dan indikasi kejanggalan itu memang menjadi catatan yang harus diterang benderangkan. Ia mengatakan Komisi I akan berupaya bersama membuat hal-hal yang dirasa janggal dan memicu curiga itu menjadi terang.
Sementara, Ketua Fraksi PKB, Faturrahman memandang banyaknya kejanggalan dan indikasi rekayasa itu telah menunjukkan bahwa proses mutasi Perdes sudah berdampak merugikan masyarakat dan banyak pihak. Karenanya, Pemkab harus bertanggungjawab begitu pula LPPM UNS yang dianggap juga tak transparan serta banyak melanggar aturan.
“Meskipun Bagian Pemerintahan menyatakan tak ada niatan, tapi faktanya hasil mutasi telah membuat banyak yang terdzalimi. Warga marah karena banyak sekali rekayasa. Kalau nggak ada masalah, kenapa pelantikan yang dijadwal tanggal 25-30, tiba-tiba dimajukan. Pemdes juga mendadak membuat pengalihan dengan menggelar Diklat lurah-lurah tapi karena banyak lurah kecewa akhirnya yang hadir cuma 40an sehingga pihak ketiganya misuh-misuh karena yang datang cuma sedikit. Kalau konsekuen kan harusnya dilantiknya sesuai jadwal. Nek ra wong salah ra mungkin buat acara pengalihan dan majukan pelantikan. Saking kewedenene kahanan, Pemkab wedi nek enek sing nggugat, ” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Kabag Pemdes, Suhariyanto membantah pengajuan pelantikan karena takut ada yang menggugat. Ia mengatakan kalau pelantikan yang maju dari jadwal karena memang permintaan desa sendiri. Wardoyo