SRAGEN- Pengerjaan proyek Jembatan Gambiran di jalan raya Sukowati Sragen yang saat ini dikerjakan dengan alokasi premature atau mendahului anggaran, dinilai teramat riskan tersandung masalah hukum. Hal itu terungkap dari hasil inspeksi mendadak (Sidak) sejumlah anggota DPRD dari Komisi III dan DPRD dari Daerah Pemilihan (Dapil) I ke lokasi proyek di Gambiran, Sine, Sragen, Selasa (22/5/2018).
Sidak dipimpin anggota Komisi III, Muh Harris Effendi didampingi anggota legislator dari Dapil I yakni Pujono Elli Bayu Effendi dan Sugimin. Mereka meninjau pengerjaan proyek jembatan beranggaran Rp 2,5 miliar yang dinyatakan sebagai kondisi darurat akibat jembatan yang diketahui mendadak ambles beberapa waktu lalu itu.
“Kami melihat penetapan status darurat sehingga proyek ini dikerjakan mendahului anggaran itu perlu dipertanyakan. Sebab di Perpres 54/2010, penetapan keadaan darurat untuk sebuah proyek itu sudah ditentukan dan tidak sembarangan. Apalagi kami dengar kemarin yang menandatangani hanya Ketua DPRD dan Kepala DPU-PR saja tanpa ada pembahasan dengan Badan Anggaran atau unsur pimpinan lainnya. Yang kami khawatirkan, kalau kemudian status darurat itu tidak sesuai dengan aturan, lalu jadi temuan BPK dan ada lembaga yang mempersoalkan, pasti akan jadi masalah,” papar Haris.
Ia menguraikan mengacu Perpres 54/2010, yang dimaksud dengan keadaan tertentu atau darurat sehingga proyek harus segera dikerjakan dan bisa mendahului anggaran ada beberapa syarat. Yakni penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk pertahanan negara. Lalu untuk keamanan dan ketertiban masyarakat; keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera.
Termasuk kemudian kondisi akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana sosial; dalam rangka pencegahan bencana; dan/atau akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik.
“Lalu mekanisme persetujuan anggarannya yang menurut kami perlu dipertanyakan juga. Pemkab harus hati-hati menetapkan status darurat,” jelasnya.
Selain persoalan penetapan status darurat, ia juga menyangsikan Jembatan akan bisa selesai H-7 seperti yang ditargetkan oleh DPU-PR. Sebab pengecoran baru dimulai Senin (21/5/2018) malam atau puasa ketujuh, sementara untuk bisa digunakan dan kering, umur cor beton minimal 21 hari dan idealnya 28 hari.
Jika dipaksakan dibuka H-7, dikhawatirkan kualitas cor belum umur dan memenuhi standar sehingga bisa berdampak pada daya tahan proyek. Dihitung saja, pengecoran sudah puasa kelima ditambah 21 hari sudah 26 hari sehingga target H-7 tidak tercapai. Kalau dipaksakan dibuka padahal umur beton belum cukup bisa bahaya. Makanya kami melihat proyek ini sudah tidak tepat sasaran, waktu dan fungsi, “ tukasnya.
Sementara Pujono Elly Bayu Efendi menyatakan pihaknya banyak menerima masukan dan pertanyaan warga terkait kondisi jembatan yang saat ini masih ditutup itu. Menurutnya masyarakat sangat berharap jembatan bisa diselesaikan dan digunakan saat lebaran nanti.
”Karena jembatan itu di jalur utama Sragen. Masyarakat dari mana-mana lewatnya situ. Dari Sidoharjo, Masaran ke kota, juga lewat situ,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Sragen Marija optimis pekerjaan jembatan termasuk beton dapat terselesaikan tepat waktu. Dia menjelaskan dengan teknologi yang ada sudah ditambahkan formula pengeras.
”Itu 2 Minggu sudah bisa ditutup, karena ini dipakai campuran pengeras sehingga umurnya diperpendek,” tegas Marija.
Dia menyampaikan kekuatan beton sudah maksimum dalam 2 pekan. Sedangkan pada tanggal 6 April dia yakin jembatan sudah bisa difungsikan. Wardoyo