JAKARTA– Meski sudah dibuka sejak 23 September 2018 lalu, namun kampanye Pilpres sejauh ini belum menunjukkan hal-hal yang substansial. Kondisi tersebut terlihat dari kedua pasangan calon.
Hal itu diakui oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, sebagai sesutu yang biasa. Dia mengatakan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden saat ini memang belum menunjukkan kampanye yang substansial ke masyarakat.
“Biasanya ini kultur kita, mendekati hari pemungutan suara nanti yang substansial mudah-mudahan keluar,” ujar Arief di kawasan Ancol, Jakarta, Sabtu (17/11/2018).
Arief menilai, kampanye yang memunculkan hal-hal tak substansial disebabkan jadwal kampanye yang panjang selama enam bulan. Di pemilu sebelumnya, kata dia, masa kampanye pemilu hanyalah 21 hari sebelum masa tenang pencoblosan.
“Pola yang panjang ini mereka belum terbiasa juga. Mungkin awal-awal ini mereka masih santai,” katanya.
Menurut Arief, lembaganya menyerahkan sepenuhnya kampanye kepada peserta pemilu. Dia mengatakan KPU juga tidak mengatur jadwal rinci kampanye agar peserta pemilu dapat teratur dan menunjukkan kampanye yang substansial.
“Bebas aja, kecuali untuk iklan kampanye di media massa itu 21 hari sebelum masa tenang,” ucapnya.
Arief mengatakan kampanye tak substansial antar-pasangan calon yang saling mengomentari sebagai hal biasa. Menurut dia, hal itu juga bukan berarti antar pasangan calon saling menyindir.
“Itu kan biasa saja, saling mengomentari,” tuturnya.
KPU telah memulai masa kampanye untuk semua peserta pemilu pada 23 September 2018. Sejak berjalan selama dua bulan, peserta pemilu seperti pasangan capres-cawapres belum menunjukkan kampanye yang subtansial ke masyarakat. Peserta pemilu ini malah terkesan saling sindir dari sikap sampai perkataan.
Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan narasi kampanye capres dan cawapres yang dibangun menuju Pilpres 2019 saat ini hanya berkutat pada perang diksi yang isinya sedikit serta dangkal gagasan. Menurut dia, hal ini dapat mengganggu kualitas demokrasi karena kampanye yang semakin tak bermutu.
“Diksi dan frasa ini pada ujungnya mendapat hubungan aksi dan reaksi yang justru membuat bising dan memekakkan di ruang opini publik,” kata Pangi dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis (15/11/2018).