SRAGEN- Warga dan pasien di sejumlah desa di lingkup layanan Puskesmas Tanon II Sragen memprotes keberadaaan oknum dokter Puskesmas berinisial SG. Pasalnya selain mempersulit pelayanan, yang bersangkutan juga dinilai punya perangai tak ramah dan sering melontarkan kalimat yang menyakiti hati pasien.
Keluhan soal kinerja buruk oknum dokter perempuan yang dikenal bertabiat galak itu banyak dilontarkan oleh warga dan pasien yang pernah datang ke Puskesmas Tanon. Bahkan dua hari lalu, sempat terjadi geger saat seorang pasien nekat berontak lantaran tak tahan dibentak-bentak dan ditunjuk-tunjuk oleh oknum dokter perempuan saat berobat di Puskesmas itu.
“Kemarin saya datang minta rujukan untuk berobat ke Solo karena saya diare. Tapi giliran sudah masuk, bukannya dilayani malah bu dokter SG itu bengok-bengok bilang aku ra sudi nglayani pasien iki. Aku wis apal sambil nduding-nduding (nunjuk-nunjuk) ke arah saya lalu pergi enggak mau melayani. Ya saya waneni, saya datang sebagai warga ingin dilayani, kok malah diunek-unekne begitu. Mentang-mentang jadi dokter terus mau seenaknya nyakiti hati pasien. Saya sampai gebrak meja mas saking nggak tahan diperlakukan begitu,” ujar Parti (55) pasien asal Dukuh Manisrejo RT 20, Sambiduwur, Tanon saat ditemui di rumahnya Sabtu (8/12/2018).
Parti menguraikan, dirinya memberanikan diri melawan lantaran sudah berulangkali mendapat perlakuan tak mengenakkan dari oknum SG. Tak hanya Kamis (6/12/2018) itu saja, ia mencatat sudah tiga kali dibentak-bentak saat datang berobat dan dilayani oleh SG.
Ia menceritakan sebelumnya, delapan bulan silam ia menderita katarak dan diantar oleh adiknya ke Puskesmas. Karena sudah parah, ia minta rujukan untuk operasi di RSUD Sragen.
Namun saat minta rujukan ke Puskesmas dan bertemu dengan dokter SG, bukannya surat rujukan yang didapat tapi malah omelan yang menyakitkan.
“Bu dokter itu waktu itu bilang ini nggak bisa minta rujukan, kalau berobat ya di wilayah sini-sini saja. Kataraknya ini belum seberapa. Adik saya juga digetak-getak sampai ribut di Puskesmas. Karena nggak diberi kami akhirnya pulang. Besoknya datang lagi alhamdulillah ketemu Pak Dokter Tri, setelah diperiksa bilang kataraknya sudah mateng dan saat itu langsung dibuatkan surat rujukan. Akhirnya saya bisa operasi dan sudah baikan sekarang,” ujar Parti didampingi adiknya, Ita Sumisih.
Parti mengaku sangat kecewa dengan tabiat dokter SG yang tak bisa menunjukkan pelayanan ramah dan justru terkesan mempersulit warga. Padahal ia yang berjualan HIK di Solo itu selama ini tercatat sebagai pasien tidak mampu dengan fasilitas BPJS Kartu Indonesia Sehat (KIS).
“Kami jadi keloro-loro dan trauma. Apakah hanya karena kami miskin, terus mau berobat saja harus dibentak-bentak, ditakut-takuti bahkan sampai ditolak minta rujukan. Silakan tanya Mas, pasti banyak pasien yang merasakan perlakuan sama seperti saya. Ya cuma satu dokter itu saja yang kelakuannya seperti nggak nguwongke pasien. Pegawai dan petugas yang lain juga baik-baik,” urainya sambil menangis.
Sekadar tahu, Puskesmas Tanon II melayani warga di desa bagian selatan Tanon seperti Slogo, Sambiduwur, Karangasem, Karangtalun, dan beberapa desa lainnya.
Di Puskesmas Tanon II yang berlokasi di Brumbung, Karangasem itu sebelumnya memiliki dua dokter satunya berinisial TR dan satunya SG. TR yang dikenal ramah dan disenangi warga sudah pensiun belum lama ini sehingga sekarang semua pelayanan ditangani oleh dokter SG saja.
Celakanya, SG yang disebut punya klinik mandiri itu justru dikenal berperangai galak dan tak segan melontarkan kalimat yang tak pantas. Lantaran banyak yang disakiti, sejumlah pasien yang rutin berobat akhirnya terpaksa nekat melawan.
Joglosemar mencoba menelusuri beberapa nama pasien yang sering berobat rutin di Puskesmas Tanon II dan berhadapan dengan dokter SG. Penelusuran mengantar ke seorang buruh tani berinisial TUM (40) warga Jambeyan, Slogo, Tanon. Meski ekonomi terbilang pas-pasan, TUM tak tercatat dalam warga miskin sehingga ia berobat dengan BPJS mandiri.
Pun dengan kedua orangtuanya, Mbah Parso (80) dan istrinya, juga berobat dengan fasilitas BPJS mandiri atau membayar premi tiap bulan.
Sama dengan Parti, TUM juga mengaku sering mendapat perlakuan tak mengenakkan dari dokter SG tiap kali berobat atau mengantarkan orangtuanya berobat ke Puskemas Tanon II.
Ia mengisahkan selama 4 tahun terakhir mengurusi pengobatan bapaknya (Mbah Parso) yang gagal ginjal, dirinya sudah berulangkali dipersulit saat minta rujukan dari Puskesmas oleh SG. Bahkan tak segan, diomeli terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuatkan rujukan. Padahal rujukan itu sangat dibutuhkan karena jadi syarat utama berobat cuci darah di rumah sakit di Solo.
“Mbah saya sudah gagal ginjal stadium parah dan rutin cuci darah. Setiap minta rujukan saya juga bilang baik-baik. Bu, bade nyuwun rujukan untuk cuci darah ke Solo. Nggak langsung dilayani tapi malah diomeli dulu. Yang saya keloro-loro, waktu itu malah dijawab sengal-sengil. Ya kudu sabar buk, nek emoh sabar ya gowo duwit setumpuk ben ndang ditambani neng rumah sakit ra ndadak golek rujukan. Apa ya bener dokter kok bilangnya kayak gitu Mas. Saya sampai sekarang masih inget terus. Sampai bapak saya akhirnya meninggal beberapa hari yang lalu. Apakah karena kami miskin dan pakai BPJS, terus bisa dilayani dengan sengal-sengil dan seremeh itu. Padahal BPJS itu kami juga mbayar tiap bulan,” urainya sedih.
TUM mengaku meski sering diperlakukan tak enak, dirinya memilih pasrah. Karena dirinya takut akan diperlakukan lebih tak mengenakkan lagi.
Sementara intensitasnya datang ke Puskesmas semakin sering seiring dengan ibunya yang kini juga divonis sakit flek paru-paru dan harus sering dirujuk ke rumah sakit.
“Makanya harapan kami, kalau bisa Puskesmas itu diberi dokter yang baik, yang ramah, yang perkataannya menenangkan dan menyejukkan. Sudah orang sakit, mau berobat saja kok malah dilarani diajak padu. Kan jadi tambah sakit,” tukasnya.
Ternyata bukan hanya keduanya saja. Beberapa pasien yang pernah ke Puskesmas dan mendapat layanan dokter SG juga mengaku kecewa hal yang sama. Bahkan, sejumlah warga ada yang terpaksa memilih berobat ke Puskemas lain meskipun harus membayar karena tak tahan harus berhadapan dengan SG.
Perangai buruk SG juga diakui di kalangan internal karyawan maupun pegawai di Puskemas Tanon II. Namun mayoritas menolak berkomentar dengan alasan takut lantaran SG adalah dokter dan pegawai senior di situ.
Meski demikian, mereka tak menampik jika sejak pensiuannya Dokter TR dan hanya ditangani dokter SG, jumlah kunjungan pasien dan warga menurun drastis.
Pantauan Joglosemar Jumat (7/12/2018), situasi di Puskesmas juga tampak sepi tak ada warga atau antrian pasien seperti di Puskesmas lain. Padahal waktu masih sekitar pukul 10.00 WIB.
Saat dikonfirmasi, Kepala Puskesmas Tanon II, Triyanta menyampaikan untuk layanan rujukan memang mengacu pada 155 penyakit yang harus ditangani oleh dokter di Puskesmas yang menjadi kompetensinya itu harus ditangani di Puskesmas.
Sementara terkait keluhan dan protes tabiat oknum dokter SG yang dikenal galak dan mempersulit pelayanan, Triyanta menilai hal itu sangat subyektif tergantung penilaian masing-masing orang.
“Namun saya pun mengakui masih ada kekurangannya dan siap untuk memberikan pelayanan yang bermutu karena sudah menjadi komitmen kami,” ujarnya.
Terkait dokter galak yang diresahkan warga, ia menyebut itu hanya oknum dan bukan institusi Puskesmas secara keseluruhan. Sebagai pimpinan dirinya sebenarnya sudah selalu menyampaikan ke jajaran pegawainya untuk senantiasa ramah dan baik dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
“Jadi secara institusi kami tidak ada masalah dengan masyarakat,” tandasnya. Wardoyo