SOLO– Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menambah dua guru besar di bidang kedokteran. Dua guru besar tersebut berasal dari Fakultas Kedokteran (FK) UNS yaitu Prof Dr Endang Sutisna Sulaeman, dr. M.Kes dan Prof Dr Sri Sulistyowati, dr. Sp.OG(K). Prof Dr Endang Sutisna Sulaeman, dr. M.Kes merupakan Guru Besar UNS ke-195 dan di FK ke-39. Sedangkan Prof Dr Sri Sulistyowati, dr. Sp.OG(K) merupakan Guru Besar UNS ke-196 dan di FK ke-40.
Pengukuhan kedua gubes digelar Selasa (11/12/2018) mendatang, di Auditorium UNS. Dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar, Prof Dr Endang Sutisna Sulaeman, dr. M.Kes yang merupakan Guru Besar di Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat akan menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul Membumikan Keadilan, Pemberdayaan, dan Promosi Kesehatan. Kesehatan merupakan fenomena yang kompleks yang dapat dikaji dengan berbagai sudut pandang. Selama dekade terakhir, agenda kesehatan mengalami dinamika, diantaranya pendekatan pada definisi sempit yaitu kesehatan sebagai teknologi berbasis kedokteran dan intervensi kesehatan masyarakat. Kedua pemahaman kesehatan sebagai fenomena sosial yaitu membutuhkan aksi kebijakan lintas sektoral, dikaitkan dengan agenda keadilan sosial. Konstitusi WHO 1948 mengakui terdapat dampak kondisi sosial dan politik pada kesehatan, dan kebutuhan kemitraan dengan lintas sektoral untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Selama tahun 1950-an dan 1960-an, pendekatan kesehatan menekankan pada teknologi kedokteran, kampanye kesehatan ditujukan pada penyakit spesifik dengan sedikit perhatian pada konteks sosial. Pada tahun 1978, model sosial kesehatan dihidupkan kembali melalui Deklarasi Alma-Ata tentang Pelayanan Kesehatan Primer dan gerakan Kesehatan untuk semua, menegaskan kembali kebutuhan untuk memperkuat keadilan kesehatan.
Dalam pidatonya disimpulkan bahwa keadilan dan ketidakadilan adalah pilihan politik. Akar ketidakadilan kesehatan adalah ketimpangan struktural dan determinan sosial kesehatan. Tanggung jawab utama untuk melindungi dan meningkatkan keadilan kesehatan adalah pemerintah. Kedua Konteks (sosial ekonomi dan politik) memengaruhi langsung terhadap pola stratifikasi sosial dan kelas sosial. Konteks berpengaruh terhadap posisi sosial ekonomi melalui hierarki sosial, distratifikasi berdasarkan status ekonomi, kekuasaan dan prestise. Posisi sosial ekonomi memainkan peran sentral dalam ketidakadilan kesehatan. Ketiga Sistem kesehatan berkontribusi pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, sebagai sumbu utama pengembangan kebijakan kesehatan pro-keadilan. Keempat Pemberdayaan dan keadilan adalah pilar kembar tempat strategi layanan kesehatan primer bersandar dan kelima Kohesi sosial dan modal sosial sebagai penghubung antara determinan sosial ketidakadilan kesehatan dan determinan perantara, Modal sosial sebagai determinan kunci dalam menciptakan kesehatan populasi.
“Pengelolaan ketidakadilan kesehatan diarahkan pada ketimpangan struktural dan determinan sosial kesehatan. Mengoptimalkan fungsi dan peranan kohesi sosial dan modal sosial sebagai penghubung antara determinan sosial ketidakadilan kesehatan dan determinan perantara serta membumikan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sebagai jantung dari promosi kesehatan,” paparnya.
Sedangkan, Prof Dr Sri Sulistyowati, dr. Sp.OG(K) akan menyampaikan pidato dengan judul Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu Yang Disebabkan Preeklampsia Dengan Model Disfungsi Endothel. Dalam kesempatan tersebut, Sulistyowati menyampaikan bahwa preeklampsia secara klinis dapat ditandai dengan adanya hipertensi (tekanan darah Sistole ≥140 mmHg atau tekanan darah Diastole ≥ 90 mmHg) dan proteinuria (≥ 300 mg/24 jam) setelah usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia masih merupakan penyumbang utama kesakitan dan kematian pada ibu maupun janin. Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta angka kematian ibu hamil pada tahun 2012 yang disebabkan oleh preeklamsia berjumlah 19 orang dari 30 ibu hamil yang meninggal dan pada tahun 2013 berjumlah 12 orang dari 21 ibu hamil yang meninggal.
Faktor risiko terjadinya preeklamsia antara lain nulipara (multipara dengan pasangan baru mempunyai risiko yang sama seperi nuli para), hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit ginjal, obesitas, kondisi hiperkoagulitas (misalnya sindroma anti fosfolipid), usia maternal yang ekstrem (< 20 Tahun atau > 35 tahun ) dan kondisi yang menyebabkan bertambahnya massa plasenta (misalnya kehamilan multifetus dan mola hidatidosa).
Dari penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa pada hewan coba model disfungsi endothel terdapat kondisi yang sesuai dengan kondisi ibu hamil preeklampsia yaitu pada Trofoblas.
“Model disfungsi endothel sebagai model preeklampsia direkomendasikan menjadi masukan bagi peneliti untuk menemukan hal yang berkaitan dengan preeklampsia untuk mengetahui penyebab maupun terapi sebagai upaya menurunkan angka kematian ibu yang disebabkan preeklampsia,” kata Sulistyowati. Triawati PP