Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Gunung Anak Krakatau Kembali Meletus, PVMBG Bilang Masih Terkendali

gunung anak krakatau meletus

Tempo.co

BANDUNG – Setelah jeda beberapa lama, ternyata aktivitas Gunung Anak Krakatau belum juga berhenti. Sampai Senin (14/1/2019) kemarin, gunung tersebut masih menggeliat dengan mengeluarkan letusan strombolian yang diikuti suara dentuman keras.

Kejadian itu dibenarkan oleh peneliti gunung api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Mamay Surmayadi.

Dikatakan, tipe letusan strombolian sempat absen bersamaan dengan mulai munculnya tipe letusan surtseyan dari Gunung Anak Krakatau.

“Indikasi letusan strombolian adalah apabila terjadi letusan pada malam hari, terlihat bunga apinya,” kata dia, Senin (14/1/2019).

Mamay mengatakan, pusat aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau sempat berada di bawah permukaan laut setelah erupsi yang terjadi pada 26 Desember 2018.

Gunung Anak Krakatau cowak, menyisakan kawah berbentuk tapal kuda yang terendam air bagian tengahnya.

“Pusat letusannya itu masih di bawah air laut,” kata dia.

Letusan yang dihasilkan saat itu dominan letusan surtseyan.

“Letusan surtseyan itu adalah letusan yang terjadi akibat naiknya magma ke permukaan. Sebelum meletus, dia kontak dengan air, karena di situ kan masih berair. Di situ yang disebut letusan surtseyan,” kata Mamay.

Mamay mengatakan, setelah serangkaian letusan surtseyan tersebut, magma terus naik dan mengering. Lokasi bukaan kawah terangkat dan berada di atas permukaan laut.

“Setelah letusan surtseyan, magma terus naik ke atas dan menjadi kering. Letusannya menjadi letusan strombolian. Saat ini yang terjadi itu kombinasi antara letusan surtseyan dan strombolian,” kata dia.

Mamay mengatakan, saat ini masih merupakan rangkaian dari fase konstruksi Gunung Anak Krakatau. Gunung Anak Krakatau terpantau muncul di permukaan laut, di lokasi sisa letusan Gunung Krakatau, pada 20 Januari 1929.

“Sejak tanggal 20 Januari 1929 itu aktivitas Gunung Anak Krakatau mulai muncul di permukaan laut. Itu yang disebut dengan kelahiran Gunung Anak Krakatau, ulang tahunnya itu tanggal 20 Januari 1929. Sejak itu Gunung Anak Krakatau tumbuh terus hingga Desember 2018 kemarin,” kata dia.

Kemudian terjadi peristiwa tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018, diteruskan dengan rangkaian erupsi hingga tanggal 26 Desember 2018, yang menghasilkan kawah tapal kuda dengan bukaan ke arah barat.

Hingga bagian ujung tapal kuda menutup dan menyisakan lingkaran berupa danau kawah di bagian tengahnya.

Gunung Anak Krakatau ini sejak 20 Januari 1929 sampai sekarang masih merupakan gunung yang masih tumbuh, itu yang disebut dengan fase konstruksi, fase pembentukan,” kata Mamay.

 

Mamay mengatakan, saat fase kontstruksi ini, tipe lutusan yang muncul adalah tipe letusan strombolian.

“Dalam skala gunung api, skala letusan strombolian itu adalah letusan berskala rendah. Dengan kondisi letusan berskala rendah itu, efek dan dampak bahaya tidak sebesar seperti tahun 1883. Makanya kami membatasi zona radius bahaya sekarang ini hanya dalam radius 5 kilometer,” kata dia.

Mamay mengatakan, aspek bahaya Gunung Anak Krakatau saat ini hanya berada di seputaran gunung tersebut.

“Kita mengharapkan masyarakat tetap tenang karena berdasarkan hitungan kami, aspek bahaya Gunung Anak Krakatau masih terdeteksi, aman, hanya di sekitar lingkungan gunung saja,” kata dia.

BMKG sempat mengkhawatirkan potensi tsunami dengan temuan rekahan baru di Gunung Anak Krakatau. Mamay mengatakan, fenomena rekahan itu biasa untuk gunung api.

“Beberapa deretan kepulan asap, kalau kita menyebutkan asap Fumaro, kami intepretasikan karena berbentuk lurus seperti bentuk rekahan. Tetapi rekahan itu hal biasa di fenomena gunung api,” kata Mamay.

Mamay mengatakan, saat mengamati dengan dekat, menumpang helikopter di dekat Gunung Anak Krakatau, rekahan itu juga masih terlihat.

“Kemarin waktu terbang di sektor selatan-tenggara, terlihat kembali ada kepulan asap yang menurut pengamatan saya, pernah muncul, tapi kemudian tertutup kembali oleh material letusan, sekarang muncul lagi. Itu biasa dalam fenomena gunung api,” kata dia.

Mamay menepis kemungkinan terjadinya longsoran tubuh gunung api dipicu rekahan tersebut.

“Tubuh Gunung Anak Krakatau itu kan masih belum padu. Bisa saja ketika hujan lebat, sebagian material terlongsorkan ke laut. Tapi itu hanya fenomena permukaan saja. Karena belum stabil, belum padat, kena air, tererosi masuk ke laut. Makanya kemarin di beberapa sektornya itu warna airnya kecokelatan,” kata dia.

Mamay mengatakan, pemetaan batimeteri yang dilakukan oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut menemukan terjadi pendangkalan di perairan seputaran Pulau Gunung Anak Krakatau.

“Dalam presentasinya mereka memaparkan terjadi pendangkalan akibat sedimentasi, mungkin akibat produk letusan Gunung Anak Krakatau masuk ke laut. Bervarirasi antara 1 meter sampai 40 meter, lebih jelasnya bisa konfirmasi ke Pushidrof TNI AL,” kata dia.

Exit mobile version