SOLO-Maraknya pemasangan spanduk di sejumlah masjid yang berada di wilayah Solo dan kabupaten sekitarnya yang berisi imbauan dan larangan menggunakan masjid untuk kegiatan politik, mendapat protes dari sejumlah kalangan di Surakarta.
Protes ditujukan kepada aparat pemerintah yang memasangi spanduk tersebut. Pasalnya, spanduk larangan menggunakan tempat ibadah untuk kegiatan politik itu hanya dipasang di masjid-masjid sedangkan tempat ibadah lainnya tidak ada sama sekali.
Tim Advokasi Reaksi Cepat (TARC) Surakarta yang mewakili sejumlah elemen umat Islam itu memprotes pemasangan spanduk yang dinilai menciderai asas keadilan dan demokratisasi di tanah air karena menyudutkan satu golongan saja yakni umat islam. Pemasangan spanduk larangan di masjid itu juga melanggar hal asasi manusia karena hak politik warga itu dijamin undang-undang.
“Pemasangan spanduk larangan tempat Ibadah untuk politik praktis kok hanya di masjid. Lha padahal yang namanya tempat ibadah itu kana da gereja, vihara, klenteng dan lainnya. Lantas kok yang dipasangi spanduk larangan hanya masjid. Ada apa ini. Ada yang ketakutan kalau rezim ini kalah di Pilpres karena suara umat Islam tidak mendukungnya. Kemudian pakai cara-cara menekan umat di masjid. Kami memprotes perlakuan tersebut,” ujar Muhammad Taufi, Ketua TRAC Surakarta dalam siaran persnya yang diterima Joglosemarnews, Sabtu (9/2/2019).
Taufiq menilai pemasangan spanduk di masjid tersebut jelas-jelas pesanan rezim saat ini. Dari hasil penelusuran tim TARC dan elemen umat Islam, banyak ditemukan spanduk-spanduk yang terpasang di masjid-masjid di Solo dan sekitarnya yang berisi larangan berpolitik/kampanye di masjid. Spanduk tersebut kebanyakan berlatar belakang bendera merah putih.
“Kalau dilihat dari model spanduknya, sepertinya model aparat pemerintah. Karena itu kita juga mengimbau kepada para takmir masjid untuk mencopot spanduk tersebut dan tidak perlu takut,” ungkapnya.
Pasalnya, spanduk tersebut dikhususkan untuk tempat umat Islam saja, belum ditemukan di gereja, pura, wihara dan klenteng. “Jelas ini merupakan sikap yang mencerminkan sentimen, tendensius dan diskriminasi. Ada teror secara psikologi bagi Khotib maupun jamaah masjid, seolah-olah masjid adalah tempat yang tidak netral dan pro pasangan calon tertentu dalam pemilihan umum,” ungkapnya.
TARC Solo meminta kepada kepolisian dan Bawaslu diminta untuk netral dan tidak mengusik kegiatan di masjid serta tidak mengintervensi para mubaligh. “Kepada para da’i, dipersilahkan tetap untuk melakukan da’wah dan amar ma’ruf nahi munkar sebagai konsekuensi dari keimanan,” imbaunya.
Hasil kordinasi dengan Bawaslu Kota Surakarta dan Bawaslu Kabupaten Sukoharjo, lanjut Taufiq, bahwa spanduk yang terpasang di masjid bukan dari Bawaslu, walau di Sukoharjo ada tulisan Bawaslu.
“Bahwa melihat kenyataan di atas, patut diduga pelakunya berniat jahat, karena hal tersebut merupakan suatu perbuatan untuk mengadu domba dan memfitnah. Hal ini tentu menjadi kewajiban Kepolisian untuk menangkap dan menertibkan pelakunya,” katanya.(Marwantoro| Syahirul)