Site icon JOGLOSEMAR NEWS

May Day 2019 di Yogyakarta, Buruh Tuntut Upah Layak dan Cabut PP 78 Tahun 2015

Sejumlah massa dari berbagai asosiasi buruh di DIY menggelar aksi demonstrasi memperingati May Day 2019 di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu (1/5/2019). Tribun Jogja/Wahyu Setiawan Nugroho

YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Peringatan hari buruh (May Day) 2019 di Yogyakarta diperingati dengan sebuah aksi yang digelar di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu (1/5/2019).

Aksi yang tergabung dalam Komite Aksi May Day 2019 tersebut menyuarakan penetapan upah layak bagi buruh yang ada di Yogyakarta.

Aksi ini juga menyuarakan beberapa tuntutan salah satunya terkait pencabutan PP No 78 Tahun 2015 serta Perumahan bagi buruh.

Tak hanya itu, dalam aksi tersebut, massa juga menuntut upah layak. Pihaknya menilai saat ini pemerintah masih menetapkan upah layak yang angat jauh dari kata layak.

Menurut Juru Bicara Aksi Komite Aksi May Day 2019, Irsyad Ade Irawan, kenaikan upah tahun 2019 jika mengacu pada PP Nomor 78 tahun 2015, kenyataannya sangat jauh dari kata layak.

Besaran UMK 2019 saat ini di DIY masih di bawah angka Rp2 juta per bulan. Dengan angka tertinggi yakni di Kota Yogyakarta yang hanya Rp1.846.400, dan terendah di Kabupaten Gunung Kidul dengan UMK Rp1.571.000.

“Dengan nominal UMK sebesar tersebut di atas, masyarakat pekerja masih sulit mencapai Kebutuhan Hidup Layak. Sehingga masyarakat pekerja/buruh harus mencari tambahan sumber pendapatan bahkan pinjaman utang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak,” kata Irsyad.

Menurut Irsyad, besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di kabupaten/kota DIY menurut survey KHL internal Komite Aksi May Day 2019 per April 2019, harusnya berada di rata-rata Rp. 2.200.000.

Dengan Kota Yogyakarta sebesar Rp. 2.864.641, Kabupaten Sleman Rp. 2.819.248, Kabupaten Bantul sebesar Rp. 2 781.574, Kabupaten Kulon Progo sebesar Rp. 2.682.049 serta Kabupaten Gunung Kidul Rp. 2.421.774.

Dalam aksi tersebut, massa juga menuntut itu, penerapan Upah Minimum Sektoral (UMS) di DIY.

Belum ditetapkannya UMS ini, kata Irsyad, yang memperpuruk keadaan masyarakat pekerja/buruh.

Padahal saat ini telah ditemukan beberapa sektor unggulan di DIY. Irsyad menambahkan, berdasarkan data objektif di lapangan ekonomi terdapat lima sektor unggulan di DIY.

Lima sektor tersebut adalah industri pengolahan, pertanian, kehutanan, dan perikanan, penyediaan akomodasi dan makan minum, konstruksi, dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor.

“Sementara itu, sebagai dampak negatif atas upah murah yang diterapkan oleh Pemda DIY, banyak pekerja atau buruh belum dapat memiliki rumah hunian milik sendiri secara layak,” katanya.

Banyak dari kalangan pekerja atau buruh dikualifikasikan sebagai masyarakat penyewa kos/rumah hunian.

Kendati pemerintah telah mengeluarkan program perumahan bagi rakyat, namun, kata Irsyad, pekerja atau buruh, khususnya yang ada di Yogyakarta masih belum terjangkau nilainya.

“Upah yang tidak sampai angka berkisar 1,7 juta tersebut harus disisihkan sekitar Rp. 800.000an untuk kredit rumah. Artinya, masih tersisa 900 ribuan untuk membeli kebutuhan lainnya. Dan nominal tersebut mustahil untuk mencapai kebutuhan hidup yang layak,” jelasnya.

Exit mobile version