SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Disrupsi digital di era milenial mengakibatkan terjadinya banjir infomasi yang nyaris tak dapat dibendung.
Banjir informasi tersebut, faktanya telah menggusur peran media penyiaran mainstream dari perannya sebagai penyampai informasi yang krediel dan dapat dipertanggung jawabkan.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta, Hari Wiryawan MA dalam acara Media Gathering bertema Penguatan Kearifan Lokal di Era Disrupsi Digital di RM Goela Klapa, Solo, Kamis (20/6/2019) sore.
Hadir pula menjadi pembicara, anggota Komisi A DPRD Jateng, Syamsul Bahri dan Isdiyanto SIP selaku Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah.
Lebih lanjut, Hari Wiryawan mengatakan, di era milenial, penyebaran informasi telah bergeser. Dari semula dari media massa ke publik, sekarang dari individu ke individu, atau dari individu ke publik, melalui media sosial (Medsos).
“Media mainstream memiliki gate keeper berjenjang dari redaktur, redaktur pelaksana sampai pimpinan redaksi. Dasarnya Undang-undang pers. Jadi produk informasi media dapat dipertanggung jawabkan secara hukum,” bebernya.
Sebaliknya, jelas Hari, individu sekarang telah mengambil alih peran jurnalis dalam menyiarkan informasi ke publik. Celakanya, mereka tidak dilengkapi dengan gate keeper dan tidak terikat undang-undang pers kecuali Undang-undang ITE.
Karena itulah, beber Hari Wiryawan, persentase jurnalis yang menjadi “korban” penegakan hukum menjadi sangat kecil, yakni hanya sebesar 6 persen. Sebaliknya, masyarakat awam yang menjadi “korban” penegakan hukum sangat mendominasi, yakni 30 persen.
“Ini terjadi karena begitu mudahnya orang menyebarkan informasi yang belum jelas sumbernya dan belum tentu kebenarannya. Mereka bahkan lebih dulu menyiarkan berita, sebelum jurnalis menyiarkannya,” bebernya.
Dulu, sebelum maraknya internet, masyarakat masih bergantung pada berita-berita dari media mainstream yang ditulis oleh jurnalis. Namun sekarang kondisi terjadi sebaliknya.
Era disrupsi digital tersebut, menurut Hari Wiryawan, merupakan ujian berat bagi bangsa yang baru mengawali demokrasi, sebagaimana Indonesia.
“Beda dengan negara-negara yang sudah mapan, seperti di Eropa. Disrupsi digital tak sampai menggoyahkan,” ujarnya. suhamdani