YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta Abdul Aziz berhasil mempertahankan disertasinya tentang hubungan seks di luar nikah tidak melanggar hukum Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Doktor Abdul Aziz berharap disertasinya itu bermanfaat untuk pembaruan hukum perdata dan pidana Islam.
“Kriminalisasi bertentangan dengan hak asasi manusia,” ucapya kepada Tempo pada Kamis, 29 Agustus 2019.
Untuk mempertahankan disertasi, dia menghadapi delapan orang anggota tim penguji pada Rabu, 28 Agustus 2019, di Kampus UIN Sunan Kalijaga. Abdul Aziz pun mendapatkan nilai sangat memuaskan.
Tim penguji tadi terdiri antara lain Yudian Wahyudi (ketua sidang), Waryono Abdul Ghofur (sekretaris sidang), dan Khoiruddin (promotor), serta Sahiron.
Abdul Aziz menjelaskan disertasi tersebut muncul dari kegelisahan dan keprihatinannya terhadap beragam kriminalisasi hubungan seks nonmarital konsensual (hubungan seksual di luar pernikahan yang dilandasi persetujuan atau kesepakatan).
Hubungan seks di luar pernikahan selama ini mendapatkan stigma dan kriminalisasi, misalnya, penggerebekan dan penangkapan sewenang-wenang di ruang-ruang privat.
Abdul Aziz juga mencontohkan kriminalisasi dalam bentuk hukuman rajam di Aceh pada 1999 dan Ambon pada 2001. “Hukuman rajam melanggar hak asasi manusia.”
Mereka yang dihukum rajam dituduh berzina. Orang-orang berkerumun dan melempari orang itu dengan batu hingga tewas.
Abdul Aziz mengutip konsep milk al-yamin dari intelektual muslim asal Suriah, Muhammad Syahrur. Konsep itu menyebutkan bahwa hubungan seks di luar nikah dalam batasan tertentu tak melanggar syariat Islam.
Muhammad Syahrur adalah Profesor Teknik Sipil Emeritus di Universitas Damaskus yang banyak menulis tentang Islam. Dia insinyur jebolan Universitas Dublin dan Moskow yang menghasilkan buku tentang Islam dan kemanusiaan.
Muhammad Syahrur menghasilkan pemikiran progresif dengan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi dengan prinsip antisinonimitas. Metode itu menggambarkan bahwa setiap istilah di dalam Al Quran punya makna yang tidak identik.
“Setiap kata atau setiap istilah pasti punya makna sesuai konteks zaman,” ucap Abdul Aziz.
Pada masa pemikir klasik konsep milk al-yamin dimaknai sebagai hubungan seks laki-laki terhadap perempuan budak. Para pemikir atau ulama seperti Imam asy Syafii dan Imam at Tabari memahami milk al-yamin sebagai hubungan seksual nonmarital dengan budak perempuan melalui akad milik.
Muhammad Syahrur menolak konsep milk al-yamin pemikir klasik. Menurut dia, perbudakan telah dihapuskan melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Islam mendukung penghapusan perbudakan itu.
Konsep itu kemudian dimaknai sebagai hubungan seks tanpa melalui perkawinan hanya untuk melampiaskan hasrat seksual, bukan untuk memiliki keturunan atau berkeluarga.
Bagi Muhammad Syahrur, hubungan seksual disebut zina bila dipertontonkan ke publik. Bila hubungan seksual dilakukan di ruang privat, berlandaskan suka sama suka, keduanya sudah dewasa, tidak ada penipuan, dan niatnya tulus maka tidak bisa disebut zina. Maka hubungan seks tersebut halal.
Meski begitu, Abdul Aziz mengakui Milk Al Yamin juga memiliki kekurangan. Dia menilai konsep tersebut itu bias gender sebab wanita berstatus istri dilarang melakukan hubungan seks di luar pernikahannya. Sedangkan laki-laki boleh melakukannya.