SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Banyak orang berpendapat, haji itu butuh biaya besar. Ongkos haji saja puluhan juta, belum termasuk biaya lain dan uang saku. Namun, sebenarnya, bekal haji bukan hanya sekadar uang. Lalu apalagi?
Johan Wahyudi, jamaah haji dari Kabupaten Sragen menceritakan pengalamannya berhaji. Ia dan istrinya tergabung di Kloter 8 SOC Solo. Sehari-hari profesinya adalah seorang guru di SMPN 2 Kalijambe Sragen.
Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , ia mengatakan perjalanan menunaikan ibadah haji dimulai sewaktu ada rezeki pada 2011 lalu, ia mengajak istrinya mendaftarkan haji.
Berdasarkan daftar porsi, ternyata keberangkatan hajinya diperkirakan 2019. Ia pasrah saja.
Selama 8 tahun, belum pernah sekali pun ia mengecek rencana keberangkatan haji melalui situs Kemenag. Ia hanya pasrah kepada Allah bahwa ia pasti diberitahu jika waktunya berangkat tiba.
Dugaannya benar. Pada akhir 2018, ia mendapatkan panggilan dari Kementerian Agama yang menyatakan bahwa ia terdaftar sebagai calon jamaah haji tahun 2019.
Kaget, senang, tapi juga pusing. Tak lain karena tahun 2018 menjadi tahun yang butuh uang sangat banyak karena ketiga anaknya naik ke jenjang yang lebih tinggi. Ia pasrahkan semuanya kepada Allah.
Saat ada pemberitahuan bahwa pelunasan biaya haji sudah tiba, ia tidak memiliki uang sebesar Rp 23 juta untuk ia dan istrinya. Uangnya sudah terlanjur untuk biaya pembangunan pesantren dan menyantuni anak-anak yatim yang akan duduk di kelas barunya.
Keajaiban datang. Tepat saat mengikuti manasik haji di Fatimah Azzahra Semarang, usai manasik thowaf miniatur Ka’bah, HP-nya berdering. Ada notifikasi bank yang menyatakan adanya uang masuk ke rekeningnya.
“Ternyata ada kiriman uang cukup banyak dari penerbit buku di Solo. Alhamdulillah, kiriman itu lebih dari cukup untuk kebutuhan haji. Benar-benar di luar dugaan karena kiriman itu tepat saat saya tidak punya uang” tuturnya sambil berlinang air mata.
Begitu tiba waktunya pelunasan, guru bahasa Indonesia ini segera mengajak istrinya ke bank. Ia tidak ingin uangnya habis, sedangkan biaya hajinya belum lunas. Akhirnya biaya haji bisa dilunasi tepat waktu.
Johan yang dikenal berpenampilan sederhana itu kembali harus didera pusing tujuh keliling. Saat jelang keberangkatan haji, uangnya sudah habis. Pajak 3 kendaraan di bulan Juli dan Agustus, uang saku tiga anak selama dua bulan, dan pembelian bekal haji telah menguras tabungannya.
Kebetulan juga ada anak yatim yang diasuhnya butuh motor agar tidak terlambat ke SMK pilihannya. Namun, ia tidak menceritakan kondisi itu kepada istrinya. Ia pendam sendiri perasaan itu.
Di tengah kegelisahan itu, tepat seminggu sebelum berangkat haji, rumahnya di Gemolong dikontrak orang. Juga teras ruko disewa untuk berjualan es kelapa muda.
“Benar-benar jauh dari pikiran saya. Bagaimana semua ini bisa terjadi pada detik-detik terakhir? Saya benar-benar bersyukur kepada Allah yang begitu baik. Semoga ibadah haji kami diterima Allah” ucap guru yang dikenal cukup dekat dengan para muridnya itu.
Ia berpesan, hendaknya kebiasaan baik dilakukan secara konsisten. Tidak perlu menunggu kaya untuk rajin bersedekah karena umur manusia tidak bisa diketahui.
“Saya yakin, semua pertolongan Allah itu karena doa anak-anak yatim dan dhuafa. Maka, sebaiknya kita rajin mengunjungi mereka dan minta didoakan. Tentunya kita juga mengulurkan bantuan. Saat kita membantu mereka, sebenarnya kita sedang menyiapkan bekal untuk diri kita sendiri. Yakinlah doa mereka menembus langit” pesan Johan menutup obrolan. Wardoyo