JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Gagasan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menghidupkan kembali GBHN dinilai berpotensi memunculkan masalah baru bagi alur pertanggungjawaban presiden.
Penilaian itu dilontarkan oleh pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia mengaku heran dengan maksud PDIP untuk mengamandemen UUD 1945 dan mengaktifkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Feri menilai agenda tersebut berpotensi menjadi liar hingga mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara seperti di era sebelum Reformasi.
“Agak janggal ya sebenarnya, karena di masa Orde Baru PDIP termasuk partai yang dianaktirikan, dikerdilkan, semestinya PDIP memperjuangkan semangat reformasi itu dengan menolak kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan kedaulatan tetap ada di tangan rakyat, bukan di tangan MPR,” kata Feri Sabtu (10/8/2019) malam.
Anggapan ihwal adanya agenda mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi mengemuka di tengah-tengah wacana amandemen UUD 1945 dan pengaktifan kembali GBHN. Sebab, hingga kini MPR belum menyepakati apa saja yang akan menjadi agenda amandemen.
Rencana mengaktifkan kembali GBHN ini sendiri memang datang dari PDIP. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di rapat kerja nasional partai pada Januari 2016 mengatakan partainya akan mengembalikan fungsi MPR menetapkan GBHN untuk mewujudkan Pola Pembangunan Semesta Berencana.
Istilah ini muncul dari Ketetapan MPR Sementara Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969.
Selain ide kembalinya GBHN, gagasan mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR turut mengemuka. Meskipun gagasan itu tak tertuang dalam draf amandemen, dua politikus PDIP membenarkan partai banteng berkeinginan meniadakan pemilihan presiden secara langsung.
Saat ini memang belum ada lobi politik untuk mengegolkan rencana tersebut. Menurut kedua narasumber, lobi masih di tahap awal untuk memastikan amandemen menjadi agenda MPR 2019-2024.
Namun hal ini dibantah oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah.
“Agenda PDIP hanya soal GBHN yang menjadi cetak biru pemerintahan di pusat dan daerah,” kata Basarah, dikutip dari Majalah Tempo edisi 12-18 Agustus 2019.
Basarah mengklaim GBHN diperlukan untuk memberikan arahan kepada presiden dan kepala daerah terpilih agar pembangunan berkesinambungan.
Menurut Feri Amsari, rencana MPR ini bermasalah dalam beberapa hal. Dia mengatakan kembalinya GBHN jelas berimplikasi terhadap sistem presidensial yang kini dianut di Indonesia.
Imbasnya, sistem pertanggungjawaban presiden menjadi ganda, kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pelaksanaan Undang-undang dan terhadap MPR dengan mengacu GBHN.
“Dua lembaga yang pada dasarnya sama tetapi melakukan dual crosscheck kepada pemerintahan. Bisa saja DPR menganggap sesuai UU tapi MPR merasa tidak sesuai GBHN,” kata Feri.
Berikutnya, Feri menilai niat mengembalikan UUD 1945 ke versi asli sama saja ingin kembali ke masa suram presidensial Indonesia tatkala masa jabatan presiden bisa berlarut-larut.
Feri pun khawatir partai-partai pendukung Joko Widodo yang menguasai 60 persen kursi parlemen periode 2019-2024 melakukan bujuk rayu terkait ini.
“Bisa saja bujuk rayu partai politik kepada presiden saat ini adalah potensi bisa menjabat untuk ketiga kalinya jika kembali kepada UUD yang lama. Kedua, juga bisa menyampaikan ke presiden jaminan dia akan terpilih kembali dengan sistem lama,” ucapnya.