Site icon JOGLOSEMAR NEWS

YLBHI: Presiden Jokowi Lakukan 5 Kebohongan Terkait Revisi UU KPK

Koalisi Masyarakat Sipil menggelar konferensi pers penolakan RUU KPK dan Pimpinan KPK di depan Gedung DPR-MPR, Jakarta Pusat pada Senin (16/9/2019) / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, Presiden Jokowi telah melakukan lima kebohongan terkait revisi UU KPK.

Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif YLBHI, Asfinawati melalui siaran persnya, Senin (16/9/2019).

Pertama, YLBHI melihat presiden melakukan pelemahan terhadap KPK
dengan menunjuk panitia seleksi bermasalah yang memiliki konflik kepentingan.

“Juga tidak mengevaluasi kerja pansel setelah terlihat indikasi pansel akan memilih calon pimpinan yang bermasalah, yaitu dengan meloloskan capim-capim yang tidak sesuai kriteria pasal 29 UU 30/2002 dan tidak mendengarkan suara masyarakat yang menjadi mandat UU KPK dan Kepres Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Panitia Seleksi Pimpinan KPK,” katanya.

Kedua, empat poin yang tidak disetujui presiden mengenai revisi UU KPK juga dinilai YLBHI tak ada artinya. Sebab, hal yang paling penting telah disetujui, yaitu KPK bukan lagi lembaga independen. Revisi UU KPK pun mengatur agar pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Menurut Pasal 1 angka 1 UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang dimaksud dengan ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

“Artinya, KPK akan menjadi bagian dari pemerintah. Padahal fungsi penyidikan dan penuntutan KPK salah satunya untuk kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam pasal 11a UU 30/2002,” katanya.

Ketiga, Asfinawati menilai ketidaksetujuan Jokowi atas KPK yang wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung hanya pemanis belaka. Apabila penyelidikan dan penyidikan sudah dilemahkan, maka tidak akan pernah ada penuntutan.

Sehingga, menurutnya, penolakan terhadap penuntutan ini sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa untuk penguatan fungsi pemberantasan korupsi KPK.

Keempat, ketidaksetujuan terhadap asal penyelidik dan penyidik tidak hanya dari Polri dan Kejaksaan dinilai YLBHI bukan sebuah penguatan, melainkan stagnansi.

Jika ingin memperkuat, seharusnya penyelidik dan penyidik independen bisa dari Polri serta Kejaksaan asalkan yang bersangkutan mengundurkan diri dari institusinya.

“Hal ini penting untuk menjaga adanya konflik kepentingan karena yang disidik kemungkinan salah satunya berasal dari Polri dan Kejaksaan. Anggota Polri dan Kejaksaan yang berintegritas dalam pemberantasan korupsi dapat melakukan reformasi dari dalam. Dengan cara ini maka penegak hukum yang bebas korupsi dan profesional terwujud dengan cepat,” katanya.

Kelima, keputusan Jokowi dalam mempertahankan pengelolaan LHKPN pada KPK dengan memperlemah fungsi penyidikan juga dinilai YLBHI bukan suatu penguatan.

Posisi ini sama dengan posisi sebagian calon pimpinan KPK bermasalah dan dapat dilihat sebagai rencana mengubah fungsi KPK dari penegakan kepada pencegahan.

Karena itu, YlBHI meminta Presiden Jokowi untuk tidak bermain-main dengan mandat rakyat terkait janji pemberantasan korupsi.

“Mandat rakyat yang telah diperoleh, salah satunya melalui kampanye keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi,” kata Asfinawati.

Exit mobile version