Beranda Umum Nasional Kisah Mahasiswi Pelaku Kawin Kontrak di Puncak Bogor, Ternyata Alasannya Karena “Itunya”...

Kisah Mahasiswi Pelaku Kawin Kontrak di Puncak Bogor, Ternyata Alasannya Karena “Itunya” Besar

Para tersangka penjaja prostitusi 'halal' atau yang lebih dikenal dengan praktik kawin kontrak di kawasan Puncak yang ditangkap petugas saat ditunjukkan di Mapolres Bogor, Senin malam 23 Desember 2019. TEMPO.CO

BOGOR, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus perdagangan manusia berkedok kawin kontrak di Puncak Bogor berhasil dibongkar oleh Polres Bogor. Pelaku kawin kontrak tersebut ternyata ada juga yang dari kalangan mahasiswi.

Sang pelaku, sebut saja Mawar, mengatakan dirinya ikut terlibat dalam praktik tersebut karena terdesak dan coba memanfaatkan kesempatan untuk meraih jutaan rupiah dalam waktu singkat.

Mawar mengatakan dari hasil kawin kontrak, dia bisa menutupi biaya kuliahnya yang mahal dan mengirimi uang untuk orang tuanya di kampung. “Saya merantau ke sini, awalnya saya niat kerja. Tapi diajak teman (jual diri), ya saya ikut aja. Biaya hidup kan mahal sekarang,” kata wanita yang mengaku berasal dari salah satu Kota di pulau Sumatera ini kepada Tempo, saat ditemui di salah satu rumah makan di kawasan Puncak, Jumat malam, 27 Desember 2019.

Mulanya, Mawar mengaku hanya ikut menemani salah satu temannya menerima klien atau bookingan. Namun seiring berjalannya waktu, ia tergoda bujuk rayu temannya soal nominal yang bisa didapatkan.

Mawar pun akhirnya terjebak dalam praktik haram tersebut. Ia mengaku tergiur dengan nominal angka yang ditawarkan, terutama ketika dirinya masih perawan. Kala itu, kata dia, seorang turis asal Sudan bersedia membayar mahar sebesar Rp 50 juta untuk dua pekan kawin kontrak.

Baca Juga :  Besok, Guru Bimbingan Konseling Tak Lagi Wajib Mengajar Tatap Muka 24 Jam

Setiap harinya pun, Mawar diberi uang ‘nafkah’ sebesar Rp 750 ribu untuk keperluan dapur dan uang saku. Namun ia harus melayani suami kontraknya itu hampir setiap hari pula.

Dari harga mahar Rp 50 juta tersebut, tidak sepenuhnya dikantongi Mawar. Uang itu dibagi juga untuk jalar atau penghubung alias muncikari. Sang jalar mendapat jatah Rp 10 juta atas perannya sebagai penghubung dan wali nikah.

Menurut Mawar, jalar biasanya berpura-pura sebagai ayahnya untuk menikahkan dia dengan klien. Selain untuk jalar, uang dibagi untuk penghulu dan dua saksi. Penghulu mendapat Rp 2 juta, sedangkan masing-masing saksi mendapat Rp 500 ribu.

Sebelum menikah siri untuk kawin kontrak, Mawar biasanya diberi arahan oleh sang jalar. “Jadi sebelum saya diketemukan dengan calon, saya diberi dulu arahan harus gimana dan bicara apa oleh si Jalar,” kata dia.

Saat menjadi ‘istri’ kontrak, Mawar menyebut setiap hari hidup berdampingan dengan suaminya layaknya pasangan suami istri yang sah. Bahkan Mawar mengaku jika mendapat bookingan, dia harus merelakan waktunya untuk belajar ke kampus.
Karena alasan itu, sudah enam tahun ia berkuliah namun belum juga menjadi sarjana. “Saya ambil cuti satu semester dalam setahun kadang awal atau akhir, tergantung rame (turis) nya,” kata Mawar.

Sejak melakoni kawin kontrak, Mawar mengaku pernah mendapat mahar tertinggi sampai Rp 25 juta. Namun rata-rata, ia mendapat mahar Rp 10-15 juta, tergantung asal turis. Jika sang suami menyukai pelayanan istri kontraknya, Mawar menyebut bisa saja diberi hal lain seperti dibelikan villa atau tanah.

Baca Juga :  Cak Imin Disarankan Stop Kamuflase Kebijakan dengan Satgas Judi Online

Praktik kawin kontrak di Puncak diketahui sudah terjadi sejak 2000-an. Yang terbaru, Polres Bogor menangkap empat orang muncikari dan enam perempuan yang akan dijual kepada pria hidung belang pada 23 Desember lalu.

Para pelanggan kawin kontrak diketahui merupakan turis dari Timur Tengah. Ada juga yang berasal dari Eropa dan Asia seperti Korea dan Jepang. Sedangkan korban berasal dari Sukabumi, Cianjur dan Karawang.

www.tempo.co