SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kelesuan yang melanda ekonomi Indonesia saat ini agaknya sangat memukul oleh kalangan pengusaha. Menurunnya order dan permintaan produk membuat sejumlah pelaku usaha di berbagai sektor terpaksa menyiasati dengan melakukan efisiensi pekerja.
Mereka pun membeberkan lesunya dunia usaha tak lepas dari beberapa faktor.
Seperti diungkapkan Manajer PT DMST I Bumiaji, Gondang, Sragen, Hendra Wangsa Sasmita Atek. Kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Atek mengatakan kondisi ekonomi saat ini memang sedang menurun karena beberapa sebab.
“Yang pertama ekonomi sepi gara-gara perang dagang Cina dan Amerika. Imbasnya barang Cina ndak bisa masuk ke amerika. Termasuk produk kain dan lain-lainnya. Akhirnya barangnya lari ke Asia termasuk Indonesia. Tekstil, kain dan baju jadi. Apalagi barang sana lebih murah sehingga pasar produk dari Indonesia menjadi turun,” paparnya Selasa (10/12/2019).
Ia menuturkan saat ini hampir semua usaha merasakan dampak dan produksi menurun. Bahkan sebagian usaha hanya mengandalkan permintaan dari lokal saja.
Selain dampak pasar bebas dan perang dagang, kelesuan ekonomi juga dipicu kemarau panjang.
Tiadanya hujan yang hampir memenuhi sepanjang bulan di tahun ini berdampak buruk terhadap pendapatan masyarakat dan daya beli.
Atek pun membandingkan kebijakan dan kepedulian pemerintah zaman Presiden Soeharto dalam mengatasi masalah kekeringan untuk membangkitkan ekonomi petani.
“Sepertinya baru tahun ini kemarau sangat panjang, bahkan Desember pun baru hujan. Karena kemarau panjang akhirnya petani nggak bisa tanam dan nggak punya uang. Kalau ekonomi bawah lesu, akhirnya ke atas pun dan daya beli juga terdampak turun. Dulu zaman Pak Harto kalau kemarau panjang, helikopter berseliweran membuat hujan buatan. Akhirnya menyelamatkan petani sehingga bisa tetap tanam. Sekarang setelah Pak Harto turun, kebijakan hujan buatan itu kan nggak ada yang gagas lagi,” terang Atek.
Ia menggambarkan jika ekonomi bawah dan pertanian seret, maka dampaknya daya beli mereka ke toko juga kurang. Imbasnya, toko yang selama ini membeli bahan dari pabrik, juga berkurang.
Rentetan itu akhirnya bermuara pada produksi pabrik. Jika permintaan turun, maka produksinya pun harus dikurangi.
Tidak hanya tekstil, hampir semua jenis usaha saat ini diyakini mengalami hal yang sama.
“Dan ini dirasakan oleh pabrik-pabrik di seluruh Indonesia. Tidak hanya tekstil saja, dan nggak hanya yang di Jawa tok,” tuturnya.
Atek menambahkan di perusahaannya yang bergerak di bidang tekstil, terpaksa juga harus mengurangi produksi hingga 30 persen.
“Kalau biasanya produksi 100 persen, sekarang kita kurangi tinggal 70 persen. Karena permintaan memang turun,” terangnya.
Akibat penurunan kapasitas produksi, manajemen juga terpaksa harus menerapkan kebijakan terhadap para buruh. Ia menyebut untuk menekan biaya produksi, saat ini terpaksa menerapkan aplus masuk buruh.
Namun ia memastikan tidak sampai melakukan PHK, pemutusan kontrak ataupun merumahkan mereka.
“Semua masih kerja, cuma kita aplus. Masuknya dioglang, supaya semua tetap bisa kerja. Semua mesin tetap kita jalankan,” tandasnya.
Kondisi itu diperkuat pernyataan Ketua SPSI Sragen, Rawuh Suprijanto. Akhir November lalu, ia sempat mengungkapkan lesunya ekonomi membuat banyak pabrik-pabrik di Sragen yang mulai merumahkan buruhnya.
Data yang tercatat di SPSI, total ada sekitar 4.000 lebih buruh yang sudah dirumahkan sejak tiga bulan lalu.
Menurut Rawuh, sepinya order dan lesunya perekonomian menjadi alasan pabrik-pabrik itu memutuskan merumahkan buruh-buruh mereka.
“Saat ini kondisi perusahaan-perusahaan sedang sakit. Dengan bukti sudah ada 4.000 buruh yang saat ini sudah dirumahkan,” paparnya.
Rawuh menguraikan ribuan pabrik yang dirumahkan itu terdeteksi berasal dari tujuh pabrik di Sragen. Mayoritas adalah pabrik-pabrik tekstil seperti BATI, DMST 1 hingga 3.
Hampir semua buruh yang dirumahkan itu adalah buruh dengan status kontrak. Sehingga secara posisi, mereka juga lemah untuk bisa menuntut pesangon.
“Rata-rata pasrah dan nggak nuntut. Lha gimana wong statusnya hanya kontrak,” terangnya.
Rawuh menambahkan aksi PHK massal itu terjadi rata-rata karena pabrik beralasan order sepi dan perekonomian lesu.
“Rata-rata alasannya sedang sepi sehingga harus mengurangi buruh,” tukasnya.
Terpisah, Plt Kepala Disnaker Sragen, Sarwaka mengaku sejauh ini belum ada laporan pasti dari perusahaan-perusahaan soal gelombang PHK besar-besaran itu.
Namun ia berharap jika memang ada kelesuan produksi, sebisa mungkin agar perusahaan tak sampai memberhentikan atau merumahkan pekerja.
“Kalau laporan resmi belum ada. Coba nanti kami akan cek ke lapangan. Harapan kami kalau bisa sesulit apapun kondisinya, jangan sampai ada PHK,” tukasnya. Wardoyo