Beranda Umum Nasional Banjir Jakarta, Kombinasi Perubahan Iklim dan Ketidakcakapan Pemerintah

Banjir Jakarta, Kombinasi Perubahan Iklim dan Ketidakcakapan Pemerintah

Banjir setinggi hingga 2 meter masih melanda perumahan elite Green Ville, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Jumat (3/1/2020) / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Banjir di kawasan Jabodetabek, termasuk yang melanda Jakarta di awal 2020 diduga tak berdiri di atas sebab tunggal berupa curah hujan ekstrem.

Rangkaian peristiwa, kebijakan pra bencana dan kondisi lahan Ibukota disinyalir berperan dan saling berkaitan.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyinggung kondisi permukaan lahan Ibu Kota yang 85 persennya tertutup beton dan minimnya titik resapan air hujan.

Bahkan menurut dia, Pemerintah DKI pernah menyatakan luasnya mencapai 90 persen.

“Sedangkan lima persennya merupakan jalan dan sisanya adalah Ruang Terbuka Hijau, Ruang Terbuka Privat dan Ruang Terbuka Biru,” ujar Elisa di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin (6/1/2020).

Di sisi lain, ujar Elisa, curah hujan yang mengguyur wilayah Jakarta awal tahun mencapai 180 juta kubik. Angka tersebut didapatnya dari Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM), Joko Sujono.

Jumlah air disebut setara dengan 72.000 kolam renang standar ajang Olimpiade serta menjadi rekor curah hujan tertinggi dalam 154 tahun.

“Air sebesar 180 juta kubik itu kemudian jatuh di atas lahan yang 90 persennya beton, dan dilimpahkan semuanya ke kali, sungai, kanal, yang besarnya cuma 3 persen dari wilayah DKI Jakarta. Otomatis air itu bakal meluap ke mana-mana,” ujar Elisa.

Ketidakseimbangan antara curah hujan dan daerah resapan itu harus menjadi perhatian serius Pemerintah DKI.

Elisa mengimbau Anies Baswedan dan anak buahnya tak lagi membiarkan adanya pembangunan oleh pengembang yang mengabaikan kewajiban membuat sumur dan kolam resapan serta ruang terbuka hijau.

“Praktik seperti ini tidak bisa dimaklumi lagi,” ujar Elisa.

Elisa berujar, kewajiban developer untuk membangun sumur dan kolam resapan serta RTH tercantum dalam Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.

Pada praktiknya, ujar Elisa, pengembang kerap abai atau pemerintah lalai.

Baca Juga :  Usai Tangkap Terduga Pelaku Penambangan Ilegal di Solok, Kasatreskrim  Ditembak oleh Rekan Kerjanya Sendiri Hingga Tewas

“Sebelum dicek apakah sumur dan kolam resapannya sudah dibangun atau belum, IMB sudah keburu keluar dan bangunannya sudah jadi,” ujar dia.

Salah satu contoh pembangunan yang mengabaikan kewajiban SIPPT, kata Elisa, adalah Kompleks Sunrise Garden, Jakarta Barat.

Menurut dia, daerah perumahan itu kerap banjir. Ia memperkirakan masih banyak kompleks lainnya di Jakarta dengan kasus serupa.

Sementara itu, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menyebut krisis iklim sebagai salah satu penyebab banjir.

Ia berujar, ada perubahan pergerakan curah hujan dalam sepuluh tahun terakhir. Frekuensi di atas ratusan milimeter per hari semakin meningkat dengan intervalnya yang lebih singkat.

Pada awal tahun 2020, kawasan Halim, Jakarta Timur memiliki rekor curah tertinggi yakni 377 milimeter per hari.

“Di Jakarta, sebenarnya rata-rata curah hujan hanya 20 milimeter per hari,” ujar Leonard.

Karena meningkatnya frekuensi hujan ekstrem, Leonard mengatakan bahwa siklus 10 tahunan atau 5 tahunan tak lagi relevan.

Hujan deras berpotensi banjir itu akan lebih sering dialami Jakarta dan dunia.

“Kita harus lihat ini sudah menuju kenormalan baru,” kata dia.

Menurut dia, meningkatnya curah hujan ekstrem dalam interval yang singkat merupakan salah satu indikator kuat terjadinya krisis iklim.

Krisis tersebut mengarah pada sebab utamanya yakni pemanasan global.

Secara global, Leonard menilai komitmen negara-negara dunia penghasil emisi tak memiliki komitmen yang kuat untuk menguranginya.

Terbukti kata dia, dari hasil mengecewakan di Konferensi Tingkat Tinggi Persatun Bangsa-Bangsa untuk perubahan iklim yang digelar di Madrid, Spanyol pada Desember 2019.

“Termasuk Indonesia. Padahal kita masuk dalam 10 besar negara penghasil emisi karbon,” kata dia.

Kondisi ini disebut sangat mengkhawatirkan. Leonard mengatakan waktu yang tersedia bagi bumi melakukan perubahan fundamental menekan pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat celsius hanya tinggal sepuluh tahun atau pada tahun 2030 mendatang.

Saat ini, pemanasan global berada di angka 1,1 derajat celsius.

Baca Juga :  DPR Wanti-wanti Pemerintah untuk Tunda Kenaikan PPN, Ini Sebabnya

Jika tak ada komitmen serius hingga 2030, Leonard mengatakan bahwa pemanasan global akan mencapai 3 sampai 4 derajat celsius.

Akibat yang akan diterima dunia di antaranya adalah curah hujan ekstrem akan semakin sering terjadi.

Selain itu, air dari es di Kutub Selatan dan Utara yang meleleh akan menghampiri daratan dunia, termasuk Teluk Jakarta.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi mengkritik kinerja Pemerintah DKI Jakarta terkait penanggulangan banjir karena masih saja jatuh korban jiwa.

Jika di total se-Jabodetabek, lebih dari 60 orang tewas dalam bencana yang sudah sering berulang tersebut.

Padahal menurut Tubagus, sejumlah regulasi sudah diterbitkan. Namun pemerintah dinilai tak cakap dalam pelaksanaan. Contohnya, Pergub 143 Tahun 2015 tentang Rencana Penanggulangan Bencana Daerah selama lima tahun yakni 2014-2019.

“Tapi apa hasilnya?” kata Tubagus.

Penyusunan rencana dalam Pergub tersebut terdiri dari identifikasi wilayah risiko kebencanaan, penetapan strategi dan kebijakan; mekanisme penanggulangan dan sinergi antara pemerintah, masyarakat dan swasta; serta menjadikan rencana itu sebagai pedoman di lingkup Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Aturan lain yang menurut Tubagus harusnya sudah membuahkan hasil adalah Pergub Nomor 39 Tahun 2014. Aturan itu menjelaskan matriks pembagian tugas SKPD dalam penanggulangan bencana.

Baik saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.

Menurut Tubagus, penanggulangan oleh Pemerintah DKI masih buruk baik dalam konteks sebelum, sedang maupun pasca bencana banjir. Salah satu contohnya adalah jadwal pemadaman listrik saat banjir Jakarta.

“Masih ada korban yang meninggal karena korsleting listrik saat banjir,” kata dia.

www.tempo.co