JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan menaikkan usia pensiun prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) memicu kritik dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sebagaimana diketahui, Jokowi hendak menaikkan usia pensiun bintara dan tamtama dari 53 menjadi 58 tahun.
“Ini mempengaruhi beban anggaran negara untuk mendanai operasional anggota TNI yang seharusnya sudah mencapai usia pensiun,” kata Staf Divisi Pembelaan HAM KontraS, Falis Agatriatma kepada Tempo, Sabtu (25/1/ 2020).
Merujuk dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, belanja pegawai memakan porsi paling besar dari anggaran Kementerian Pertahanan. Dari pagu sebesar Rp 127,35 triliun, 41,6 persen di antaranya dialokasikan untuk belanja pegawai.
Meski angkanya jumbo, anggaran itu mesti dibagi-bagi ke sejumlah lembaga di bawah Kementerian Pertahanan, termasuk tiga matra TNI yakni Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut.
Itu sebabnya, kata Falis, TNI kerap bekerja sama dengan sektor swasta guna mendapatkan tambahan dana operasional. Maka, penambahan usia pensiun ini pun dinilai berpotensi menjadi dalih bagi TNI untuk semakin banyak menjalin kerja sama dengan pihak swasta.
“Bisnis-bisnis militer akan riskan terjadi dan dianggap sebagai jalan keluar untuk menutupi dana operasional yang mestinya dibebankan kepada negara,” ujar dia.
Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan ingin menambah usia pensiun prajurit bintara dan tamtama TNI dari 53 menjadi 58 tahun.
Penambahan masa kerja ini termasuk dalam poin revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang sudah masuk Program Legislasi Nasional 2020.
Jokowi beralasan, prajurit berusia 53 tahun masih tergolong sehat dan segar serta masih dapat bertugas. Dia juga meminta adanya rencana strategis untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.