Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Cerita Lumpuhnya 3 Desa Sentra Batik di Sragen Diterpa Wabah Covid-19. 400 Perajin Gulung Canting, 1.000 Lebih Pekerja Terpaksa Dirumahkan

Kondisi tempat produksi Batik Ossy di Desa Pilang, Masaran, Sragen yang lengang dan puluhan cetakan pola batik hanya menumpuk sejak berhentinya produksi akibat wabah corona. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wabah corona virus atau covid-19 benar-benar menghadirkan mimpi buruk bagi pelaku usaha kecil di semua sektor. Tak terkecuali sektor kerajinan batik.

Harapan mereguk untung yang biasa datang menjelang Lebaran, kini harus sirna akibat dampak wabah corona yang meruntuhkan daya beli masyarakat.

Alih-alih bertahan, hampir semua perajin batik di sentra industri batik di Sragen kini terpaksa harus menutup usahanya karena sepinya order. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 400 UMKM perajin batik yang memilih menghentikan produksi sejak tiga bulan lalu.

“Sudah tiga bulan kami berhenti produksi sejak adanya wabah corona ini. Di Sragen ada 3 desa yang produksi batik yaitu Pilang dan Kliwonan di Kecamatan Masaran dan Pungsari di Plupuh. Di tiga desa ini, ada kalau 400 orang perajin yang berhenti produksi,” papar Sugiyamto, pemilik usaha “Dewa Batik” di Dukuh Jantran, RT 25/5, Desa Pilang, Masaran, Sragen ditemui di kediamannya, Kamis (30/4/2020).

Pengusaha batik sekaligus anggota DPRD Sragen itu menuturkan dari berhentinya 400 usaha itu, tidak kurang dari 1.000 pekerja yang terpaksa harus dirumahkan.

Nihilnya order dan merosotnya pendapatan dampak penurunan daya beli masyarakat, menjadi alasan para perajin memilih menyetop usaha dan merumahkan pekerja.

“Pekerjanya mayoritas warga sekitar. Sebenarnya kasihan juga, tapi ya bagaimana lagi. Ini masa yang paling sulit bagi perajin. Makanya kami juga berharap para pekerja batik itu harusnya dipikirkan supaya dapat Bansos. Karena mereka juga sudah lama nganggur,” terang legislator PDIP itu.

Pengusaha Dewa Batik sekaligus anggota DPRD, Sugiyamto saat menunjukkan kain batik sisa produksi yang disiapkan untuk mengangisipasi orderan karena produksi sudah tutup sejak tiga bulan lalu. Foto/Wardoyo

Sugiyamto menguraikan cerita lumpuhnya UMKM batik itu tak lepas dari tutupnya sejumlah pasar besar yang selama ini menjadi andalan pasar batik produksi Sragen.

Pusat grosir Tamrin, Tanah Abang Jakarta, Jogja, Solo, Surabaya hingga Bali yang selama ini menjadi andalan semua tutup semenjak virus corona mendarat di Indonesia tiga bulan silam.

“Selama ini batik di sini paling banyak terserap di Tamrin dan Tanah Abang. Begitu sana tutup, ya Wassalam,” tuturnya.

Di sisi lain, harapan menyambung pendapatan lewat jualan online, juga tak semulus yang diharapkan. Kondisi ekonomi dan merosotnya daya beli masyarakat menjadikan pasar online pun tak berjalan sesuai harapan.

“Jangankan mikir beli baju atau batik Mas, masyarakat saat ini berpikirnya tabungannya bisa buat berapa bulan ke depan. Ya, sementara terpaksa berhenti dan sambil menghabiskan stok kalau ada yang beli. Sambil berharap dan berdoa agar wabah ini segera lenyap dari muka bumi,” terangnya.

Kades Pilang yang juga pemilik Batik Nugroho, Sukisno saat menunjukkan stok batiknya yang masih ada di galeri rumahnya. Foto/Wardoyo

Tak hanya Dewa Batik, pantauan JOGLOSEMARNEWS.COM , sejumlah perajin di Desa Pilang yang merupakan sentra batik terbesar di Sragen, juga tampak menutup usahanya.

Lokasi usaha dan papan untuk mencetak batik kini dibiarkan menumpuk dan tampak tak terurus pertanda sudah agak lama tak terpakai.

Salah satunya di Ossy Batik yang juga bersebelahan dengan Dewa Batik. Di UKM ini, biasanya mempekerjakan puluhan perajin, namun kini tampak lengang tak ada aktivitas apapun.

Kondisi tak jauh beda terjadi di rumah produksi Batik Nugroho di Pilang, Masaran milik Sukisno. Rumah produksi aneka jenis batik kenamaan itu juga sudah hampir dua bulan berhenti produksi.

Hal itu tak lepas dari sepinya order, tutupnya sejumlah pasar besar hingga merosotnya daya beli masyarakat dampak corona virus.

“Sementara nggak produksi dulu sudah hampir dua bulan Mas. Karena memang sepi, pasar besar seperti Klewer juga sudah sepi. Sementara kalau ada yang butuh, kami hanya menghabiskan stok yang ada. Lalu kalau ada yang pesan baru berani buat,” ujar pengusaha yang juga Kades Pilang itu.

Sukisno menambahkan di tempat usahanya, selama ini mempekerjakan antara 10 hingga 11 orang. Untuk menyiasati karena batik lesu, beberapa waktu terakhir, dirinya mencoba banting setir dengan memproduksi masker kain batik.

“Ya sehari bisa 2.000 sampai 3.000 lembar. Lumayan sedikit-sedikit bisa nyambung Mas. Jadi tenaga yang biasanya mbatik dan bisa njahit tetap bisa bekerja,” tandasnya. Wardoyo

Exit mobile version