SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Jagat media sosial Sragen dibuat gempar dengan sebuah postingan berisi curahan hati (Curhat) salah satu pasien soal rapid test di RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen.
Curhat itu ditulis dalam sebuah media sosial facebook atas nama akun Agung Shodiq, Jumat (15/5/2020). Dalam postingannya, ia intinya mempertanyakan biaya Rp 500.000 lebih untuk rapid test di RSUD Sragen.
Dia menyampaikan ada pasien demam yang diperiksa di klinik dan kemudian mendapat rujukan untuk rapid test di RSUD Sragen. Setelah dites hasil rapid negatif dan ternyata setelah selesai diminta membayar Rp 500.000 lebih.
Ia pun menanyakan bukanlah ada bantuan rapid test kit dan reagen dari pemerintah.
Postingan lengkapnya berbunyi “Mohon ijin bertanya kepada pihak yg berkompeten” Ada pasien demam periksa di klinik, dapat rujukan utk rapid tes di RSUD ( punya BPJS ) setelah di rapid tes hasilnya negatif, ternyata bayar 500ribu lebih,
Apakah aturannya memang seperti itu???, bukankah ada bantuan rapid tes dan reagen dari pemerintah untuk Rumah Sakit Rujukan dalam penanganan Covid-19,??, Bagaimana klo ada ODP atau Pelaku Perjalanan dengan kesulitan ekonomi dapat rujukan dari puskesmas utk rapid tes, Apakah juga harus bayar????”
Postingan itu diunggah di grup FB KWS dan langsung memantik ratusan like respon dan komentar dari pembaca lainnya.
Mayoritas mendukung curhatan itu dan meminta agar ada transparansi terhadap biaya yang diklaim untuk rapid test.
Menyikapi hal itu, Dirut RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen, Didik Haryanto mengatakan rapid test yang ada di RSUD dari bantuan pemerintah, jumlahnya sangat terbatas.
Sesuai SOP dari Pemkab, pemakaiannya diprioritaskan bagi tenaga medis dan pasien dalam pengawasan (PDP). Untuk pasien PDP memang bisa diklaimkan dan tidak perlu membayar.
Sedangkan untuk pasien yang masih berstatus ODP atau pasien yang datang dari rujukan, harus mengikuti prosedur yang panjang sebelum direkomendasikan untuk dirapid test.
“Kami tetap memakai SOP (standar operational procedure) rumah sakit.
Kalau PDP jelas mondok nggak mikir biaya karena sesuai Permenkes bisa diklaimkan. Tapi untuk ODP, kami di rumah sakit memberlakukan SOP sesuai ketentuan,” paparnya dikonfirmasi JOGLOSEMARNEWS.COM , Jumat (15/5/2020).
SOP yang diberlakukan adalah bahwa pasien rujukan dari Pukesmas atau klinik, harus melalui pemeriksaan rontgen maupun laboratorium terlebih dahulu.
Setelah hasilnya keluar, maka akan dilakukan konsultasi oleh dokter UGD yang kemudian diteruskan dengan konsultasi Tim Covid-19 RSUD.
“Setelah itu discreening apakah hasil tes laborat ada kecenderungan mengarah covid-19 dan harus rapid test. Nanti dokter akan diskusi panjang banget, bisa bisa berjam- jam. Itu untuk menentukan butuh dirapid atau tidak. Setelah dirapid akan ditentukan masuk isolasi atau obat jalan dulu,” terangnya.
Ia menguraikan sebelum rapid test dilakukan, ada proses penanganan lain seperti rontgen dan pemeriksaan thorax dan lainnya. Terhadap proses itu memang ada pembiayaan.
“Jadi yang perlu dipahami bahwa sebelum rapid test itu ada proses dan tindakan yang harus dilakukan. Mungkin untuk rapid test bisa kita khususkan. Tapi kan biaya tindakan lain-lainnya kan nggak bisa. Kalau hanya datang dan ingin rapid test, di Puskesmas saja bisa dilakukan. Tapi ya itu tadi, jumlah rapid test kit kita kan terbatas,” tukasnya.
Didik juga menjelaskan saat ini, kondisi ketersediaan rapid test kit di RSUD juga kekurangan.
Sehingga untuk pasien rujukan harus melalui screening yang panjang dan pembahasan dengan dokter dan tim covid-19 sebelum memutuskan seorang pasien harus dirapid test.
“Jadi tidak sesederhana itu. Hanya rapid test saja. Kita terapkan prosedur dan SOP karena kita memang libatkan diskusi tim dokter dan tim covid-19 agar tidak kecolongan. Karena kalau sampai pasien mengarah covid-19 masuk bangsal, makaorang seluruh bangsal harus dirapid dan layanan diberhentikan total,” jelasnya.
Pihaknya siap memberikan penjelasan apabila memang pasien atau masyarakat yang ingin menanyakan perihal sesuatu atau persoalan terkait pelayanan.
Namun diharapkan lebih baik menanyakan langsung ke RSUD. Sebab jika melalui saluran media sosial maka dikhawatirkan akan timbul miss persepsi dan debat kusir. Wardoyo