JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Banyak bupati di Indonesia yang melanggengkan dinasti politik dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Hal itu setidaknya merupakan hasil kajian dari lembaga kajian politik dan pemerintahan, Nagara Institute, yang
menyoroti masih banyaknya dinasti politik di Pilkada 2020.
Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faisal mengatakan, lembaganya mencatat bupati paling banyak menjadi aktor dinasti politik.
“Berdasarkan riset ini bupati adalah aktor utama pelaku dinasti politik terbanyak atau 72 persen dibanding wali kota (17 persen) dan gubernur (11 persen),” kata Akbar Faisal, Senin (27/7/2020).
Akbar membeberkan, lembaganya mencatat ada pola yang cenderung serupa terkait dinasti politik oleh kepala daerah. Pertama, suami atau istri menjabat kepala daerah, lalu istri-suami-anak menjabat sebagai anggota legislatif di berbagai tingkatan dengan dukungan sumber daya kekuasaan yang dimiliki sang patron.
Kedua, setelah sepuluh tahun atau dua periode menjabat dan tak bisa maju lagi atas perintah undang-undang, jabatan publik tersebut diserahkan kepada istri-suami/anak dengan cara menggerakkan seluruh sumber daya kekuasaan saat masih menjabat.
Ketiga, kepala daerah menjabat, lalu seluruh jabatan strategis di level eksekutif atau kunci-kunci anggaran diberikan kepada istri-suami, anak, atau kerabat terdekat.
Keempat, segala fasilitas kekuasaan yang didapatkan berdasarkan kroniisme dengan pengambil kebijakan di partai, termasuk fasilitas mendapat tiket menjadi gubernur, bupati, atau wali kota.
Nagara Institute berpendapat politik dinasti menjadi salah satu faktor buruknya rekrutmen calon kepala daerah. Akibatnya, banyak pula kepala daerah yang tersangkut kasus setelah terpilih.
Nagara Institute mencatat, dari hasil Pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018, terdapat 56 kepala daerah yang menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari angka ini, bupati adalah pelaku korupsi terbesar (74 persen), disusul wali kota dan gubernur masing-masing 13 persen.