JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai tidak percaya diri dengan program-programnya sendiri. Hal itu setelah pemerintah diketahui menghabiskan anggaran hingga puluhan miliar untuk membayar influencer selama 6 tahun terakhir.
Opini tersebut disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha, dalam sebuah diskusi, pada Kamis (20/8/2020). “Nampak Jokowi tak percaya diri dengan program-programnya sehingga perlu menggelontorkan dana untuk influencer,” ujarnya.
Dari data yang dihimpun ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital adalah Rp1,29 triliun sejak 2014. Khusus untuk influencer saja disebut mencapai Rp90,45 miliar selama enam tahun terakhir.
Kenaikan signifikan anggaran aktivitas digital pemerintah pusat terjadi dalam periode 2016 hingga 2017. Pada 2016, anggaran untuk aktivitas digital disebut hanya Rp606 juta untuk satu paket pengadaan saja. Namun pada 2017, angka paketnya melonjak menjadi 24 dengan total anggaran mencapai Rp535,9 miliar.
“Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah,” kata Egi.
Dari data tersebut, Egi mengatakan instansi yang paling banyak melakukan aktivitas digital adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 44 paket, disusul Kementerian Keuangan dengan 17 paket, lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 14 paket.
Sementara itu, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati keberadaan influencer ini bisa mengancam dan mencederai demokrasi jika terus dibiarkan. Banyak di antara mereka bersuara karena pesanan saja. Hal ini, kata dia, tak ada bedanya dengan iklan. Namun dengan tingkat transparansi yang lebih tak jelas.
“Yang masalah dengan influencer, publik tak bisa membedakan mana yang pendapat pribadi mana yang sendiri karena iklan. Mungkin beberapa orang bisa mengira-ngira, tapi kebanyakan tidak,” kata Asfinawati.