JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengizinkan sekolah di zona hijau dan kuning untuk mengadakan kembali pembelajaran tatap muka. Namun implementasinya tetap wajib mendapat persetujuan dari empat pihak.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), implementasi pembelajaran tatap muka di sekolah dalam kawasan zona hijau dan kuning harus memperhatikan persyaratan yang wajib dipenuhi, yakni berupa empat persetujuan.
“Pertama, persetujuan dari pemerintah daerah (pemda) atau dinas pendidikan dan kebudayaan di wilayah zona hijau dan kuning. Kedua, persetujuan kepala sekolah atau setelah sekolah dapat memenuhi protokol kesehatan yang ketat,” demikian menurut keterangan BNPB, Sabtu (8/8/2020).
“Ketiga, adanya persetujuan wakil dari orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam komite sekolah meskipun kemudian sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka. Keempat, adanya persetujuan dari orang tua peserta didik. Jika orang tua tidak setuju, peserta didik tetap belajar dari rumah dan tidak dapat dipaksa.”
BNPB menambahkan bahwa Kemendikbud mengedepankan dua prinsip dalam kebijakan pendidikan di masa pandemi Covid-19. Prinsip pertama yakni kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat.
Kedua, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19.
Pembelajaran tatap muka di zona oranye dan merah rencananya tetap dilarang. Sekolah pada zona tersebut tetap melanjutkan belajar dari rumah.
Berdasarkan data Kemendikbud, sekitar 57 persen peserta didik masih berada di zona merah dan oranye. Mereka tersebar di 238 wilayah administrasi setingkat kabupaten dan kota, sedangkan 43 persen berada di zona hijau dan kuning atau tersebar di 276 wilayah administrasi.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengumumkan diperbolehkannya sekolah di zona hijau dan kuning untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
Dia mengatakan, langkah tersebut diambil sebagai bentuk antisipasi pemerintah untuk mengurangi dampak buruk dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) bagi anak.
Menurut Nadiem, banyak riset menunjukan bahwa di situasi bencana yang mengharuskan PJJ, ada efek negatif terhadap anak. Bahkan efek ini bisa terus berkepanjangan jika tak ada tindakan yang diambil.
“Bagi siswa adalah efek yang bisa sangat negatif dan permanen,” kata Nadiem dalam konferensi pers, Jumat (7/8/2020).