Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Jatingaleh, Kali Pancur dan Sejarah Perjalanan Sunan Kalijaga

Hutan wiasta Tinjomoyo Semarang ini menurut sejarahnya merupakan tempat bagi Sunan Kalijaga untuk mengheningkan cipta / lupita - joglosemarnews

SEMARANG, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dalam istilah Jawa ada ungkapan, jeneng iku neges. Artinya, setiap nama memiliki makna. Sekadar contoh kecil, orang tua tentu punya pertimbangan matang sebelum memberi nama pada anaknya.

Jika kita melancong ke Kota Semarang, tentu kita tak asing dengan nama-nama daerah seperti Tinjomoyo, Kaligarang, Jatingaleh, Kali Pancur hingga Goa Kreo.

“Nama-nama itu punya sejarahnya sendiri, yang semuanya bermuara pada sejarah pendirian masjid Demak,” ujar Kepala Seksi Sejarah dan Budaya Kota Semarang, Harryadi Dwi Prasetyo kepada Joglosemarnews.

Harry mengatakan, nama-nama daerah di atas tidak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Kalijaga. Salah satu wali dari Wali Sanga yang membantu meyebarkan agama Islam di Nusantara.

Sunan Kalijaga, demikian Harry, terlibat pada  banyak peristiwa Islam dan pembagunan peradaban Islam, salah satunya dalam sejarah pembangunan Masjid Demak.

Cerita perjalanan Sunan Kalijaga dalam upaya pendirian Masjid Demak, terentang dari wilayah yag kini disebut Jati Ngaleh hingga ke Goa Kreo.

Menurut ceritanya, kisah Harry, saat hendak membangun Masjid Demak, Raden patah dan para walisongo berniat mencari pohon jati yang besar dan kuat sebagai pasak utama tiang Masjid Demak.

Lalu, diutuslah Sunan Kalijaga untuk mencari kayu jati tersebut. Sunan Kalijaga ditemani oleh Ki Tapak Tumanggul pergi ke arah selatan.  Singkat cerita, mereka berhasil menemukan pohon jati yang dinginkan. Mereka berencana menebang pohon jati tersebut keesokan harinya.

Sambil menunggu prajurit, Sunan Kalijaga bersama rombongan memutuskan untuk beristirahat di tepi sungai dengan menyalakan api unggun.

Dalam Bahasa Jawa, bediang di sekitar api unggun biasa disebut dengan nggarang awak. Dari peristiwa itulah, sungai tersebut oleh Sunan Kalijaga dinamai dengan Kaligarang.

“Tapi keesokan harinya, Sunan Kalijaga dan rombongan terkejut, karena pohon jati yang mereka incar sudah hilang dari pandangan,” kisah Harry.

Mereka pun mencoba mencari pohon jati tersebut. Akhirnya, dari kejauhan, pohon jati itu kelihatan samar-samar. Lalu, Sunan Kalijaga bertapa di sebuah bukit untuk mendapat petunjuk dengan menggunakan mata batin.

Bukit yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertama itulah, yang kemudian dikenal dengan nama bukit Tinjomoyo. Artinya adalah manik maya atau mata batin.

Pohon jati itu akhirnya memang berhasil ditemukan melalui mata batin Sunan Kalijaga, tetapi saat hendak didekati pohon tersebut berpindah-pindah.

Tempat pohon jati tersebut di sekitar kawasan yang kini bernama Jatingaleh, konon katanya nama tersebut dari Sunan Kalijaga.

Sunan yang heran kenapa pohon jati tersebut menghilang, sehingga untuk menamai tempat tersebut sunan kalijaga memberi nama Jati Ngaleh.

Sehingga Sunan Kalijaga melanjutkan pencarian, saat malam dirasa jika perjalanan tidak aman jika terus dilanjutkan maka Sunan Kalijaga dan rombongan beristirahat sejenak.

Saat waktu subuh tiba, Sunan Kalijaga kesulitan mencari air. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya Sunan Kalijaga melakukan tindakan yang bagi orang lain mustahil. Dia menancapkan lidi di tanah.

Ajaib, dari tanah itu memancarlah air yang dapat digunakan untuk berwudhu.

“Melalui peristiwa itulah, tempat tersebut dinamai dengan Kali Pancur,” lanjut Harry.

Singkat cerita, Sunan Kalijaga akhirnya berhasil menemukan kayu jati yang sesuai untuk menjadi tiang pasak Masjid Demak. Sunan Kalijaga dan rombongan pun akhirnya memotong kayu tersebut.

Kayu jati tersebut memiliki diameter yang sangat besar, sehingga harus dihanyutkan ke sungai untuk mengangkutnya. Tempat penemuan pohon jati itu pun dinamai dengan Jatiombo, karena ukurannya yang besar.

“Perjalanan Sunan Kalijaga sebenarnya tidak berhenti sampai di sini. Masih panjang dan banyak rintangan,” ujar Harry.

Misalnya, kata Harry, perjalanan Sunan Kalijaga dilanjutkan dengan menyisir sungai. Saat itulah kayu-kayu jati gelondongan yang besar tadi terjepit bebatuan.

Sunan Kalijaga dan rombongan berusaha untuk mengangkat kayu tersebut, tetapi hasilnya sia-sia. Ia pun memasuki gua untuk berdoa dan meminta petunjuk kepada Allah.

Selesai bersamadi, datanglah empat ekor monyet yang memiliki bulu dengan warna yang berbeda-beda. Ada monyet yang berwarna kuning, merah, hitam dan ada pula yang berwarna putih.

Dibantu empat ekor monyet itulah, Sunan Kalijaga dan pengikutnya berhasil mengangkat kayu jati yang terjepit.

Setelah berhasil, monyet-monyet tersebut ingin mengikuti Sunan Kalijaga. Akan tetapi, Sunan melarangnya dengan mengatakan: “Mangreho.”

Lalu, Sunan Kalijaga pun memberikan tempat tinggal kepada empat ekor monyet tersebut berupa gua yang sebelumnya digunakan sebagai tempat bersamadi.

“Tempat itu kini terkenal dengan sebutan Goa Kreo. Tentu masih panjang perjalanan Sunan Kalijaga sampai dengan berdirinya masjid Demak,” ujar Harry menutup pembicaraan. lupita – wandani

Exit mobile version