Wajahnya terlihat sejuk, dengan kumis bertengger di bawah hidungnya. Pandangannya tajam namun bersahabat. Mengenakan baju koko dan sarung saat itu. Dengan ramah ia mendampingi JOGLOSEMARNEWS.COM , mengelilingi Pondok Tetirah Dzikir yang berlokasi di Kuton, Tegaltirto, Berbah, Sleman Yogyakarta, pekan lalu.
Lelaki paruh baya ini bernama Muhammad Trihardono. Ia merupakan pemilik dan pengelola Pondok Tetirah Dzikir tersebut. Pondok yang mulanya adalah pesantren ini, kini beralih menjadi pondok perawatan untuk mereka-mereka yang mengalami depresi kejiwaan, gelandangan, stres hingga Narkoba. Keseharian Trihardono ini bersama sang istri, Sukmawati dan beberapa relawan merawat 130 penghuni pria dengan latar belakang hal tersebut.
Di halaman Pondok Tetirah Dzikir, ia menyapa seorang pemuda yang asyik merokok sambil cengar-cengir. Tubuh anak muda itu begitu kurus dibalik celana panjang dan kaos putih yang dikenakannya.
“Ini Rosyid, sudah ada 2 tahun di sini karena Narkoba,”ujar Trihardono. Penjelasannya begitu pendek, namun mampu mengundang interaksi Rosyid untuk becanda. Gelak tawa pun mengalir dari keduanya, meski mungkin dengan bahasa penuh rasa sayang yang hanya mereka berdua ketahui. Seorang ayah kepada anaknya, atau seorang pengasuh kepada binaannya.
Dari bibir Rosyid mengalir cerita dengan tergagap-gagap, kalau merokok itu enak. Sehari ia bisa habis beberapa batang rokok. Masa kelam karena Narkoba membuat ia kehilangan segala-galanya, termasuk keluarga, rumah dan orangtua. Menyisakan dirinya terdampar di Pondok Tetirah Dzikir tersebut hingga saat ini.
Beranjak ke deretan kamar bentuk sel, dengan terali besi berwana hijau, seorang pemuda berusia sekitar 30 tahunan sedang asyik membolak-balik buku, tertera beragam tulisan Arab. Saat diajak berkenalan tersebutlah namanya adalah Giantoro. Latar belakang asmara menjadi alasan ia masuk ke Pondok Tetirah Dzikir itu beberapa bulan ini. Ketika ditanya apakah ia bisa mengaji, dan kami ingin mendengarnya, dengan tegas lelaki berbaju kuning itu mengaku bisa.
“Yo iso ngajilah, sing ngajari bapakku,”tukasnya. Cukup lama berkomunikasi dengan Toro, panggilannya, akhirnya ia merasa nyaman, pede dan kemudian malah bersholawat. Suaranya begitu indah.
Kisah dua lelaki ini, hanyalah segelintir cerita yang berbeda namun dipertemukan oleh nasib karena kondisi kejiwaan yang hampir sama di pondok ini. Begitu juga ratusan penghuni Pondok Tetirah Dzikir lainnya, berusia 13-75 tahun, ada yang dibuang keluarganya, gelandangan, depresi, sering mengamuk, bahkan ada yang berbahaya dan nyaris mengancam keselamatan keluarganya.
Namanya manusia, kata Muhammad Trihardono, ada lika liku kehidupan. Dari sinilah semua bermula, termasuk keberadaan Pondok Tetirah Dzikir ini. Menurut lelaki kelahiran Sleman, 5 Maret 1969 ini, usai lulus kuliah dulu, ia pun sempat mengalami depresi berkepanjangan hingga bertahun-tahun.
“Naik turun keadaan, kadang tingkat depresi akut, hilang kesadaran diri, paranoid, takut dengan orang, teriak-teriak. Tetapi dalam keadaan seperti itu, masih ada kesadaran dalam diri, kok saya begini, seperti akan jadi orang gila. Sangat tidak mengenakkan waktu itu, “beber Trihardono menceritakan kisahnya beberapa puluh tahun silam.
Situasi kejiwaan yang berkembang, menghadapkan dirinya bak buah simalakama. Hidup menjadi orang gila yang tidak ada artinya, atau menjadi orang yang putus asa hingga mau bunuh diri.
Hingga akhirnya, tegas Trihardono, terbesit nurani dalam dirinya yang membawa kesadaran penuh bahwa kita masih punya Gusti Allah sebagai jalan keluar. Dan cara untuk menunjukkan jalan keluar, mau tidak mau adalah pesentren.
“Kalau mau ke pesantren pasti selamat, karena di sana ada ustadz, orang-orang pilihan Gusti Allah. Saat keterpurukan itu, pertarungan antara hidup, gila, mati, bunuh diri ini, saya memutuskan berproses untuk keluar. Mencari pondok pesantren satu ke yang lainnya dalam kondisi drop, linglung, tapi tetap ada semangat,”tandasnya.
Ia pun tinggal di sejumlah pondok, hingga kemudian berlabuh di Pondok Suroloyo Tasikmalaya. Di sini ia diajak senantiasa berdzikir dan menemukan ketenangan, sebuah obat yang terus diamalkannya. Hingga kemudian, datanglah sesamanya, orang yang sakit jiwa, histeris karena gagal cinta. Pengobatan dengan dzikir ini pula yang lantas dibagikan dan coba diajarkan kepadanya, dan para penghuni Pondok Tetirah Dzikir yang terus berdatangan karena getok tular.
Jatuh bangun keberadaan Pondok Tetirah Dzikir pun mewarnai perjalanannya. Awalnya Pondok Tetirah Dzikir adalah pondok pesantren seperti umumnya. Berdiri sekitar tahun 1999-2000, pondok ini sempat berganti-ganti lokasi. Seiring banyak penghuninya yang ternyata memiliki kasus depresi, kejiwaan ternyata mengundang rasa takut , dan tidak nyaman masyarakat sekitar.
“Kami pindah beberapa kali, karena kami harus pergi ketika masyarakat merasa terganggu. Pernah di Mlangi, Demak Ijo, terus ke Cangkringan tahun 2014 . Pindah karena kena erupsi, dan akhirnya pindah kemari (Berbah-red). Pondok ini sekarang begini karena ada gerakan umat yang tersentuh,”tandasnya.
Hidup dengan sesama penderita kejiwaan, bagi Trihardono, selain sebuah pengabdian, dan bentuk kepedulian, juga sebuah proses edukasi yang ingin ia sampaikan kepada khalayak umum. Bahwa sesungguhnya pondoknya ini berangkat dari sisi ibadah, amaliah yang istiqomah terutama dengan dzikir siang malam
“Kalau melihat pondok Tetirah Dzikir ini, banyak orang mengesankan pondok ini adalah pondok orang-orang bermasalah, tidak normal, tempat orang terbuang. Bahkan sering ada guyonan, kalau gak genap, entek obate, dibawa ke sini. Kesannya ya kami ini adalah sekadar tempatnya orang-orang yang dibuang, padahal bukan,”tutur Trihardono.
Hal ini setidaknya terlihat dari padatnya kegiatan yang wajib dilakukan oleh para penghuni Pondok Tetirah Dzikir. Dimulai setiap dini hari pukul 02.00WIB mandi malam, Qiyamullail, Shalat Subuh, Shalat Sunat, berlanjut mandi pagi pukul 07.00WIB, makan pagi, Shalat Dhuha, tadarus Al Quran, Shalat Dzuhur. Pukul 13.00WIB istirahat, mandi sore, Shalat Azhar, makan sore, Shalat Magrib, Amaliyah Khotaman, Shalat Isya, Khotaman, Sholat Sunat Mutlak, Istikharah, hajat dan tidur malam.
“Kalau ada orang yang datang kemari pertama kali, ya kami terima seperti santri.Tugasnya ya seperti santri, ibadah. Bila tidak tertib, melarikan diri baru ada tindakan lain, jadi mereka harus ada di kamarnya. Harus dan pasti mengikuti jadwal harian yang sudah ditetapkan, dengan segala keterbatasannya, “imbuh Trihardono.
Satu hal digaris bawahi Trihardono yang sudah mendedikasikan dirinya dan keluarganya di Pondok Tetirah Dzikir ini, bahwasanya orang gila itu baginya adalah seorang yang sedang mendapat cobaan,sehingga harus dibantu.
“Janganlah mereka diberi cap orang gila, dan dihakimi sebagai orang gila, karena mereka masih punya akal sehat, diajak ngibadah juga bisa. Kita-kita ini yang haruslah lebih peduli kepada mereka,”ungkap Trihardono kelahiran Sleman ini.
Rasa ingin peduli dengan mereka pun diungkapkan Agung, ia menjadi relawan di Pondok Tetirah Dzikir ini cukup lama, meski sempat berhenti .
“Membantu bapak di sini, ya menemani mereka-mereka ini, dzikir, kadang senam, ziarah malam. Banyak cerita di sini, membantu mereka sebisanya,“pungkas lelaki bertubuh gempal ini. Saat itu ia sedang asyik membagikan camilan kue kering kepada penghuni Pondok Tetirah Dzikir . Tampak tangan-tangan terulur menengadah, meminta jatah kue kue kering dari balik jeruji sel kamar ataupun celah-celah masjid. Begitu kue di tangan masing-masing, dilahapnya penuh kenikmatan, kepuasan dan senyum kebahagiaan. Padahal hanya beberapa biji kue kering. Kiki Dian S