Beranda Nasional Jogja Melongok Pondok Tetirah Dzikir Berbah, 130 Penghuni Pria Beragam Kasus dari...

Melongok Pondok Tetirah Dzikir Berbah, 130 Penghuni Pria Beragam Kasus dari Depresi hingga Narkoba Jalani Perawatan di Sini

Bangunan Masjid di Pondok Terirah Dzikir yang dipergunakan oleh para penghuninya untuk shalat dan berdzikir setiap waktu. Kiki DS

JOGLOSEMARNEWS.COM — Alunan dzikir mengalun begitu kencang, menyambut Joglosemar, pekan lalu  saat berkesempatan datang ke sana. Suaranya semakin keras mengundang tanya untuk melongoknya.

Tak cukup jauh  sumber bunyi itu berasal. Tepatnya dari sebuah bangunan dengan tembok kayu bercelah-celah kecil. Tampak Belasan orang di dalam bangunan itu, rata-rata mengenakan sarung dan baju koko. Ada separuh baya, berambut putih, bahkan sudah Lansia. Mereka duduk bersila mengikuti imam yang melafalkan Laa ilaaha illallah.

Ya, ternyata  sebuah masjid sederhana. Letak bangunan ini persis di tengah lingkungan Pondok Tetirah Dzikir, yang berlokasi di  Kuton, Tegaltirto, Berbah, Sleman Yogyakarta. Sebuah speaker besar bertengger di dekat masjid itu, membuat dzikir bergaung ke seluruh penjuru pondok ini.

Mereka begitu khusyu. Dzikir ini menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan bersama-sama setiap hari. Setidaknya 7 kali dalam sehari, usai shalat wajib 5 waktu dan 2 kali usai shalat Sunah. Di sela-sela keseharian mereka pun menjalani kehidupan seperti yang lainnya, senam, dan jalan-jalan.

“Dzikir jadi cara untuk merawat dan penyembuhan. Kalau pas dzikir bisa tenang, namun tenangnya pun berproses,“jelas Muhammad Trihardono, pemilik sekaligus pengelola pondok tersebut.

Metode dzikir ini, diakui Trihardono tak lepas dari pengalaman hidup kesembuhan yang dialaminya dan coba diterapkan untuk sesamanya. Pun dengan nasib dan sakit yang sama yakni depresi berkepanjangan, paranoid, hingga sering histeris dan berkehendak bunuh diri.

Saat ini 130 penghuni pria berusia 13-75 tahun tinggal di sana. Beragam masa lalu melatarbelakangi kasus mereka, mulai dari depresi, stres, kejiwaan, gelandangan, narkoba bahkan dibuang keluarganya. Penghuni termuda tak lepas dari jeratan Narkoba sejak dini yang tidak bisa diatasi.

sudut pendapa di Pondok Tetirah Dzikir untuk berkegiatan, Kiki DS

“Banyak dari keluarga yang membawa mereka ke mari dengan bumbu cerita macam-macam. Katanya di rumah mengamuk, membahayakan orang lain dan masih banyak lainnya. Tapi begitu datang kemari, ternyata mereka tenang, mau bergaul dengan siapa saja, mau apa saja dengan senang, “tambah Trihardono.

Stigma masyarakat termasuk keluarga bahwa sakit kejiwaan pasti gila itu pula yang mau tidak mau akhirnya menjadi buah simalakama buat mereka. Sehingga bisa jadi tindakan dan perilaku mereka dengan keluarga berbalik seratus delapan puluh derajat ketimbang dengan orang lain.

“Saya tidak pernah menganggap mereka gila. Bagi saya , mereka sama, gaweane  Gusti Allah, hanya sedang mendapat cobaan,”tukas lelaki kelahiran Sleman, 51 tahun lalu ini.

Baca Juga :  PakNas Gelar Rembuk Konsumen, Soroti Kebijakan Diskriminatif terhadap Konsumen Tembakau

Permasalahan keluarga pula, diakui Trihardono menjadi penyebab yang kerap mengganggu psikologis dan mental para penghuni Pondok Tetirah Dzikir tersebut. Sebut saja perlakuan orangtua yang sering membanding-bandingkan pribadi anak satu dengan saudara lainnya dalam keluarga, memberikan perlakukan yang berbeda, menuntut anak, atau bapaknya begitu tinggi tanpa memandang kemampuan, serta tuntutan ekonomi.

“Ada seorang tukang pijat dari Gunungkidul, mungkin karena situasi di rumah, dengan istrinya atau keluarganya panas, penat, bikin stres, jadi sering teriak-teriak, marah-marah.  Dibawa ke sini,  malah tenang banget, senangnya mijetin saya kalau pas capek, “tukas Trihardono.

Deretan kamar berbentuk sel untuk penghuni Tetirah Dzikir jika mengamuk

Seiring pesatnya informasi dan media sosial yang cepat, diakui berdampak pada perkembangan pondok Tetirah Dzikir ini. Sebab, kata Trihardono,  menimbulkan permasalahan tersendiri. Banyak pihak yang lantas ingin menitipkan sanak saudara mereka yang memiliki latar belakang narkoba, depresi dan lainnya di sini, tapi keterbatasan menjadi faktor tersendiri. Mulai dari sumber daya manusia yang sedikit, tempat tinggal, dan lainnya.

Jangan dikira, tinggal di pondok Tetirah Dzikir akan seperti rumah sakit jiwa atau sebangsanya. Cikal bakal berdirinya Pondok Tetirah Dzikir ini tahun  1999-2000, awalnya adalah pesantren, maka untuk tidur para penghuninya pun berupa kamar-kamar yang tidak besar. Dalam kamar standar ukuran 3x3m dilengkapi  fasilitas sederhana untuk buang air dan mandi, ironisnya  bisa dihuni 7-9 orang. Ada kamar berbentuk sel seperti penjara, dengan teralis besi warna hijau. Kamar atau sel ini diperuntukkan untuk para penghuni yang memiliki tingkat keparahan sakit jiwa cukup besar, agar memberikan rasa aman buat yang lain, ketika mengamuk. Ukurannya pun cukup kecil, hanya leponan semen untuk tidur tanpa alas apapun,  plus fasilitas buang air.

Guna mengatasi sumber daya manusia yang terbatas dalam menangani ratusan penghuni di sana, Trihardono turut memberdayakan para penghuni yang memiliki tingkat kesembuhan cukup tinggi, agar peduli dengan teman-teman lainnya.

“Mereka yang sudah sembuh , diminta untuk membantu teman-temannya.  Gotong royong. Ini bisa jadi terapi bagi mereka juga. Ada yang akhirnya bisa menjahit, membantu memandikan, dan bantu-bantu lainnya.”tegas Trihardono.

Merawat ratusan lelaki dengan latar belakang “sakit” yang berbeda, tak membuat Sukmawati, istri Muhammad Trihardono takut. Ia begitu santai saat berinteraksi dengan  para penghuni  Tetirah Dzikir yang sembuh dan boleh berkeliaran. Begitu juga menghadapi penghuni yang berada di sel karena sering ngamuk, baginya bukan kendala.

Baca Juga :  Pemuda di Bantul Gadaikan Sepeda Motor Titipan, Kini Jadi Tersangka

“Merawat mereka itu ya biasa aja, takut gak ada. Soalnya gini, mereka itu ngamuk justru kalau sama keluarga mereka sendiri, nah sama orang lain malah tidak. Kadang mereka trauma dengan kejadian pas berada di tengah keluarga mereka, dikucilkan, dibandingkan dan lainnya,  namun kalau sudah di sini mereka membaik, “tukasnya.

Bagi Sukmawati, banyak peristiwa yang terjadi dan menjadi pelajaran saat merawat para penghuni Tetirah Dzikir tersebut. Melihat mereka sembuh dan bisa hidup normal kembali merupakan kebahagiaan tak ternilai. Pun ketika keseharian mereka bekerja, Sukmawati melihat nilai keikhlasan yang lebih terasa dari para penghuni itu.

“Tapi sedih kalau mereka tidak bisa hidup normal, tidak bisa sembuh. Mereka ditertawakan, rasanya sedih. Padahal membangkitkan semangat mereka itu sulit. Beruntung kalau sudah dapat hidayah, pasti mudah. Prinsipnya mengajak dan menuntun,”ucap Sukmawati.

Keberadaan para penghuni Pondok Tetirah Dzikir ini, tak lepas dari donasi dan bantuan banyak pihak. Hanya sedikit keluarga yang membantu operasional dan biaya perawatan untuk anggota keluarga yang mereka titipkan di sana. Namun lebih banyak yang tidak diurusi keluarganya, sehingga seumur hidup berada di tempat tersebut. Apalagi ketika keluarga mereka dalam keadaan ekonomi kekurangan, pasti tidak akan pernah menjemput mereka untuk diajak pulang.

“Kami memerlukan perhatian dari banyak orang demi kelangsungan pondok Tetirah Dzikir ini,”pungkas Trihardono. Kiki Dian S