SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sragen menyampaikan total ada 101 pasien di RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen yang gagal menyalurkan hak pilihnya saat Pilkada 9 Desember lalu.
Hal itu disampaikan anggota Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Sragen, Widodo saat menggelar pers rilis kepada wartawan, Senin (21/12/2020).
Didampingi Ketua Bawaslu, Dwi Budhi Prasetyo dan Edy Suprapto, Widodo menyampaikan kasus dugaan hilangnya hak pilih ratusan pasien itu sudah ditindaklanjuti sejak Jumat (18/12/2020).
Menurutnya ada lima dari enam Ketua KPPS di TPS penyangga yang menjadi terlapor. Masing-masing Ketua KPPS di TPS 2, 3, 5, 7 dan TPS 8 di Nglorog dan sekitar RSUD Sragen.
Dari enam TPS penyangga, hanya KPPS TPS 6 yang diketahui datang memberikan layanan ke pasien di RSUD. Untuk mengusut kasus itu, Widodo mengatakan Bawaslu juga sudah mengklarifiksi sejumlah pihak.
Mulai dari Ketua KPPS terlapor, Ketua KPU, pihak penemu, Panwascam Sragen, Pam TPS hingga pihak RSUD Sragen.
“Total di RSUD Sragen ada 105 pasien yang tidak terlayani untuk menyalurkan hak pilihnya. Lalu hasil klarifikasi kami ke saudara Eka Ketua TPS Nglorog, dari 6 TPS itu hanya ada 2 TPS yang datang yaitu TPS 3 dan 6. Petugas TPS 6 langsung datang dan memfasilitasi. Tapi yang TPS 3 hanya melayani 4 orang pasien dari 15 pasien yang terdaftar akan memilih,” papar Widodo.
Widodo menguraikan dari hasil klarifikasi Bawaslu, mendapati keterangan bahwa mayoritas KPPS di 5 TPS penyangga itu mengaku tidak datang melayani pasien ke RSUD karena masih melayani pemilih di TPS masing-masing.
Menurutnya, mereka juga beralasan tidak bisa datang ke RSUD karena salah menafsirkan batas waktu layanan. Mereka mengira pelayanan pemungutan suara untuk pasien di RSUD juga ditutup pukul 13.00 WIB.
“Para KPPS itu mengaku tidak tahu jika di aturan PKPU No 6/2020 pasal 72 ayat 3 huruf a menyatakan pemungutan suara pasien di RSUD bisa dilayani mulai pukul 12.00 WIB sampai selesai,” imbuhnya.
Widodo menyampaikan temuan itu sudah dibahas bersama tim kejaksaan dan kepolisian yang ada di Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Dari dua kali pembahasan yang berakhir Senin (21/12/2020), tim akhirnya memutuskan bahwa banyaknya pasien di RSUD Sragen yang tidak bisa dilayani mencoblos itu adalah fakta.
“Tapi tim kemudian sepaham bahwa kasus itu tidak bisa dinaikkan ke tingkat penyidikan karena tidak cukup kuat memenuhi unsur tindak pidana sengaja menghilangkan hak suara sesuai pasal 78 UU No 1/2015. Unsur dengan sengajanya tidak cukup kuat. Karena KPPS sudah berusaha melaksanakan tugasnya memfasilitasi pemilihan di RSUD,” terang Widodo.
Kaji 2 Potensi Pelanggaran Lain
Meski demikian, menurutnya ada beberapa hal yang menjadi catatan. Yakni adanya kesalahan penafsiran dan ketidaktahuan KPPS terkait aturan pelayanan oleh TPS penyangga bagi pasien di rumah sakit.
“Ternyata teman-teman KPPS itu pemahamannya ternyata masih sama bahwa mereka menganggap layanan ke pasien ya ditutup pukul 13.00 WIB seperti di TPS. Padahal aturannya lain,” terangnya.
Saat ditanya apakah KPPS itu tak pernah mendapatkan pembekalan atau bintek soal aturan itu, Widodo menyebut dari pengakuan KPPS, sebenarnya mereka sudah dapat bintek.
Namun mereka tak memahami jika ada aturan terbaru soal ketentuan pelayanan sampai selesai bagi pasien seperti diatur di PKPU 6/2020.
“Meski tak bisa masuk ke ranah pidana, tapi masih ada potensi untuk masuk pelanggaran kode etik dan administrasi. Ini masih kita bahas,” lanjutnya.
Soal siapa yang paling bertanggungjawab atas keteledoran hingga ada seratusan pasien kehilangan hak pilihnya, Widodo enggan menyebut atau menuding secara gamblang.
“Tapi yang jelas kewenangan memerintah itu ada di Ketua KPPS. Makanya kami serius menangani ini, sebab ini menyangkut hak pilih seseorang. Jangankan 101 orang, satu orang saja sangat penting,” tegasnya.
Ketua Bawaslu, Dwi Budhi Prasetyo menambahkan kasus tersebut memang sudah diregistrasi pada Jumat (18/12/2020). Kemudian sebagai tindaklanjut ditangani bersama oleh Tim Gakkumdu yang hasilnya sudah diputuskan hari ini.
“Hari ini diputuskan dan hasilnya penanganan dihentikan karena tidak cukup memenuhi unsur untuk diproses ke penyidikan. Hasil keputusan itu juga sudah ditempel di Bawaslu dan kami kirimkan juga baik ke penemu maupun terlapor,” tandasnya. Wardoyo