SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Seorang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) asal Desa Wonotolo, Kecamatan Gondang, Sragen berinisial NAN (36) memprotes hasil swab yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen.
Pasalnya, hasil swab yang diterbitkan RSUD dr Moewardi Solo itu berbeda dengan hasil swab mandiri yang dilakukannya di rumah sakit lainnya.
Hasil swab dari DKK menyatakan positif sementara setelah diswab mandiri di RS dr Oen Solo ia dinyatakan negatif. NAN pun merasa seolah-olah dicovid-kan atas perbedaan hasil swab itu.
Fakta itu diungkapkan NAN kepada wartawan, Rabu (2/12/2020). Warga
Dukuh Kedung Gandu, Desa Wonotolo itu mengatakan awalnya ia yang terdaftar sebagai anggota KPPS mengikuti rapid test dan dinyatakan reaktif.
Karena reaktif, ia kemudian menjalani swab test di technopark pada 17 November lalu. Saat keluar hasilnya tiga hari kemudian atau tanggal 20 November, NAN langsung syok ketika ia dinyatakan positif.
Ia kaget padahal ia merasa sehat dan tidak ada gejala apa-apa. Karena merasa sehat, NAN pun kekeh menolak dijemput tim Puskesmas untuk isolasi mandiri di Technopark Sragen.
Karena ragu atas hasil swab itu, ia pun memutuskan untuk memberanikan diri melakukan Swab test mandiri di Rumah sakit dr Oen Solo tanggal 26 November 2020.
Hasilnya kemudian keluar dua hari kemudian. NAN dibuat terkejut untuk kali kedua setelah hasil swab menunjukkan tanda negatif.
“Saya curiganya karena hasil swab dari Moewardi itu tidak ada tanda tangan yang yang bertanggung jawab dibawahnya. Saya bandingkan dengan hasil yang dari dr Oen itu ada tanda tangannya dari dokter lab,” ujar NAN.
Tokoh masyarakat Desa Wonotolo, Joko Riyanto yang mendampingi NAN juga heran karena kabar NAN dinyatakan positif akhirnya membuat warga sekitar resah.
Sementara sejak kabar positif itu muncul, seperti tidak ada tindakan apa-apa dari pihak terkait. Menurutnya, pemerintah dan DKK juga tidak ada tindakan ke rumah, sebelum NAN akhirnya memutuskan melakukan swab mandiri.
”Minimal ya ada penyemprotan. Ini tidak ada sama sekali,” ujarnya.
Dia justru kasihan terhadap NAN karena mendapati hasil swab yang berbeda. Kondisi itu akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi dan sosialnya.
”Terus yang bersangkutan yang juga takmir masjid juga di jauhi jamaah. Terus usaha tempe kripiknya tidak laku,” ungkap mantan Kepala Desa Wonotolo itu.
Karena ragu hasil Swab test di Teknopark Sragen, lantas NAN dengan biaya sendiri melakukan swab test di Rumah sakit dr Oen Solo. Hasilnya negatif meski NAN harus merogoh kocek pribadinya senilai Rp 1,3 juta.
”Di Technopark hasilnya keluar 3 hari setelah swab, dari dr Oen 2 hari langsung keluar. Intinya nggak percaya karena tidak ada tanda tangan di bawahnya. Hasilnya di share lewat WA, bukan surat resmi,” ujarnya.
Pihaknya berharap setelah ini Pemerintah memberikan kepastian hukum. Terutama soal akurasi hasil swab lantaran menyangkut nasib seseorang dan sangat rentan memicu stigma negatif di masyarakat apabila sudah dinyatakan positif.
Masa Inkubasi 14 Hari
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen, Hargiyanto menepis tudingan hasil swab tidak akurat dan seolah sengaja mengcovid-kan NAN. Menurutnya, perbedaan hasil dari dua swab yang dilakukan dengan rentang 9 hari itu sangat mungkin terjadi.
Sebab, masa inkubasi virus covid-19 adalah 14 hari. Sehingga ketika jarak swab pertama dan kedua cukup lama, sangat dimungkinkan sudah terjadi perubahan pada kondisi seseorang yang positif.
“Saudara NAN diambil swab pertama oleh DKK pada 17 November. Lalu hasilnya keluar dari Moewardi tanggal 20 November positif. Lalu dia swab mandiri tanggal 26 November hasilnya keluar 2 hari kemudian. Artinya ada selang 9 hari. Masa inkubasi virus itu 14 hari, kalau dia swab pertamanya ternyata hari ketujuh, kan sembilan hari kemudian mungkin kondisinya sudah membaik sehingga bisa jadi sudah negatif,” paparnya.
Ia menjelaskan daya tahan virus covid adalah 14 hari. Jika saat diswab ternyata sudah memasuki hari ke-12 inkubasi dan positif, kemudian diswab kedua tiga hari kemudian pun, peluang berubah membaik dan jadi negatif juga sangat terbuka.
Terlebih bagi orang yang positif dengan kondisi tanpa gejala, perubahan membaik itu bisa sangat cepat.
”Jadi mungkin virus waktu hidupnya tinggal sebentar. Kalau mau cari second opinion selang beberapa hari dan hasilnya negatif ya memungkinkan. Beberapa kasus juga ada seperti ini,” urainya.
Perihal tidak adanya tandatangan penanggungjawab pada hasil swab dari Moewardi, hal itu karena swab yang digelar DKK adalah swab program dengan peserta banyak. Sehingga hasil swab diterbitkan secara kolektif dalam satu lembar, bukan per orang.
Karena itu program pemerintah dan yang membiayai pemerintah, maka hal itu sudah dinyatakan sah. Meski diterbitkan secara kolektif, hasil swab dari Moewardi tetap ia tandatangani selaku Kepala DKK.
”Sragen saja dalam sehari bisa 300 sampel swab. Itu baru Sragen, belum daerah lain. Kalau suruh buat per orang dan ditandatangani satu persatu belum tentu mau dokternya. Tapi kan nanti sampai sini tetap saya tandatangani. Kalau nggak benar, pertaruhan saya juga,” tandasnya. Wardoyo