Site icon JOGLOSEMAR NEWS

KontraS Sebut Penembakan yang Tewaskan 6 Laskar FPI Termasuk Pelanggaran HAM

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti (kiri). Foto: Republika/Prayogi

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut insiden penembakan yang menewaskan enam orang anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) saat bentrok dengan polisi di Tol Cikampek pada 7 Desember 2020 lalu adalah sebuah pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).

Disampaikan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, penembakan yang dilakukan oleh aparat hukum itu juga sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap azas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan.

Kontras melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya praduga tidak bersalah,” kata Fatia, dalam diskusi daring bertajuk ‘6 Nyawa dan Kemanusiaan Kita’, pada Jumat (25/12/2020) malam.

Fatia mengatakan, ada beberapa aspek yang meyakinkan KontraS sehingga menilai insiden di ruas Tol Jakarta-Cikampek tersebut sebagai pelanggaran HAM. Ia mengatakan, Polri merupakan institusi resmi negara dalam penegakan hukum.

Namun, ia mengatakan pembelaan diri kepolisian bahwa penembakan dilakukan sebagai upaya pembelaan diri merupakan keterangan sepihak, dan tak dapat dibuktikan. Ia pun menilai pembelaan diri itu sebagai upaya yang dipaksakan agar dipercayai publik.

Selain itu, ia mengatakan, tindakan yang tidak dapat dibuktikan menjadi sebuah penghinaan bagi proses hukum.

“Hukum itu seperti tidak berguna untuk melakukan pembuktian atas dugaan tindak pidana (penyerangan). Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa adil. Karena, sudah tidak bisa dibuktikan, karena orang-orangnya (yang dituduh kepolisian menyerang) sudah dibunuh, dan meninggal,” kata Fatia.

Fatia mengatakan, KontraS juga mempertanyakan dalih pembelaan diri dari kepolisian. Dalam melakukan penegakan hukum, Fatia mengatakan, kepolisian seharusnya hanya menembak untuk melumpuhkan lawan.

Fatia mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 1 Tahun 2009 yang memuat aturan-aturan tentang pelumpuhan dengan senjata api. “Yang namanya pelumpuhan, ya jelas untuk melumpuhkan. Bukan untuk mematikan. Berarti di bagian tubuh yang memang tidak mematikan,” kata Fatia.

Akan tetapi, dia mengatakan, dari dokumentasi jenazah pascakejadian, bekas luka tembak di sekujur tubuh enam laskar FPI tersebut secara jelas memperlihatkan bagian-bagian vital sebagai target tembakan. Kebanyakan di dada kiri yang menyasar jantung dan tak ada satupun luka bekas peluru tajam yang mendarat pada bagian-bagian yang dimaksud untuk melumpuhkan.

Fatia menambahkan, pelanggaran HAM kepolisian terhadap enam laskar FPI ini sebetulnya bukan kasus penembakan dengan sewenang-wenang yang pertama kali terjadi.

Fatia mengatakan, catatan KontraS dalam tiga bulan terakhir terdapat 29 kasus penggunaan senjata api berpeluru tajam yang dilakukan oleh kepolisian dengan cara serampangan. Namun dari catatan-catatan kasus tersebut, tak ada satupun perkaranya yang berujung pada pemberian sanksi pemidanaan untuk dampak jera.

Karena itu, KontraS mendesak agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat menjalankan perannya sebagai investigator atas tragedi di Tol Jakarta-Cikampek tersebut dan harus menjelaskan kepada publik kronologi peristiwa yang paling akurat.

Keenam laskar FPI yang tewas akibat ditembak petugas dalam bentrokan di Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 lalu, yakni Faiz Ahmad Sukur (22 tahun), Andi Oktiawan (33), Ahmad Sofyan alias Ambon (26), Muhammad Reza (20), Luthfi Hakim (25), dan Muhammad Suci Khadavi (21).

Exit mobile version