Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Okupansi Hotel di Yogya Jeblok, Ini Sebabnya

Petugas hotel di Yogyakarta meningkatkan penerapan protokol kesehatan seiring dengan perpanjangan masa tanggap darurat Covid-19 di DI Yogyakarta hingga akhir September 2020 / tempo.co

YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Target okupansi hotel-hotel di DIY yang semula sebesar 70 persen untuk moment libur Natal dan Tahun Baru, akhirnya meroaot sampai titik terendah.

Hal itu diakui benar oleh Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY. Di mana, momentum liburan Natal dan Tahun Baru 2021 kali ini benar-benar membuat pelaku usaha perhotelan sulit bernafas.

Hal itu terjadi lantaran setiap tamu yang akan menginap diwajibkan menyertakan hasil rapid test antigen negatif Covid-19.

Kebijakan rapid test antigen itu dinilai terlalu mendadak dan membuat wisatawan terbebani biaya sehingga akhirnya ramai-ramai membatalkan reservasi momen libur akhir tahun ini.

Saat kebijakan rapid antigen itu mulai digaungkan, okupansi hotel Yogya memasuki libur Nataru yang awalnya 42 persen sudah sempat turun lalu bertahan 25 persen.

“Namun ternyata semakin banyak wisatawan yang cancel reservasi untuk libur akhir tahun di Yogya hingga okupansinya per hari ini rata-rata tinggal 5 persen,” ujar Ketua PHRI Deddy Pranowo, Selasa (22/12/2020).

Deddy merinci reservasi yang dibatalkan itu untuk periode akhir tahun atau saat 31 Desember 2020. Pembatalan itu terjadi untuk semua kelas hotel di Yogya, baik bintang maupun non bintang.

Potensi kerugian yang dialami pelaku hotel pun diprediksi mencapai miliaran rupiah. Sebab, ujar Deddy, potensi pendapatan yang hilang yang dialami hotel berbintang 3 sampai 5 akibat pembatalan reservasi itu diprediksi berkisar di atas Rp 500 juta. Hotel dan restoran yang menjadi anggota PHRI DIY sendiri jumlahnya 400-an.

“Kami perkirakaan potensi pendapatan yang hilang di atas Rp 500 juta lebih di tiap hotel berbintang itu karena anjloknya okupansi,” kata Deddy.

“Untuk kerugian yang dialami juga banyak, namun belum kami hitung.”

Sebab, menurut Deddy, dalam menyambut libur Nataru ini setiap hotel di Yogya sudah modal besar untuk mempersiapkan aspek estetis dengan menghias hotel dan menambah alokasi untuk penerapan protokol kesehatan bagi tamu yang datang.

“Hotel tentu sudah keluar biaya besar untuk hiasan-hiasan Nataru, bahan baku hidangan juga sudah terlanjur stock, bahan desinfektan juga disiapkan untuk antisipasi tamu banyak,” ujarnya.

PHRI berharap dengan sisa okupansi 5 persen ini ada keajaiban sehingga bisa naik kembali hingga 45 persen saat hari H malam pergantian tahun.

PHRI Yogya tak mau muluk-muluk bermimpi okupansi bisa seperti tahun baru sebelumnya yang di atas 70 persen.

Meski demikian, PHRI Yogya tak hanya menunggu keajaiban. Namun juga sudah mulai ancang-ancang demi mendongkrak lagi okupansinya saat hari H pergantian tahun.

“Sejumlah hotel sudah mulai menawarkan promo staycation, dengan rentang harga Rp 150 ribu – 6 juta untuk menginap,” kata Deddy.

Staycation ini menyasar wisatawan lokal, khususnya sekitaran DIY yang tak butuh syarat rapid test antigen.

Sekretaris DIY Kadarmanta Baskara Aji menuturkan wisatawan luar DIY yang saat ke Yogya menggunakan maskapai penerbangan atau Kereta Api, sebenarnya secara otomotis sudah memiliki rapid test antigen itu.

Sebab, pihak bandara atau penerbangan serta PT KAI memberlakukan aturan yang sama.

Hanya saja, untuk wisatawan yang menggunakan jalur darat seperti bus atau mobil pribadi memang perlu rapid test antigen ini.

Karena pemerintah DIY tidak memberlakukan skrining di jalur-jalur perbatasan karena dikhawatirkan menimbulkan kemacetan lalu lintas.

“Wisatawan dari luar yang menggunakan jalur darat itu skriningnya saat akan menginap di hotel atau homestay, dari pihak RT/RW dan petugas hotel diminta memeriksa rapid antigennya,” kata Kadarmanta.

Exit mobile version