Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Mengadu ke Istana, Guru Honorer 35 Tahun ke Atas Minta Nasibnya Diperhatikan Presiden

Massa pekerja honorer K2 DKI Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur DKI, Rabu, 26 September 2018. Tuntutan utama yang disuarakan para pekerja K2 adalah meminta SK Gubernur. Selama ini, status mereka tidak jelas apakah termasuk kategori pegawai tidak tetap (PTT) atau bukan. Honorer K2 Jakarta hanya dijadikan pekerja harian lepas (PHL). Padahal beban kerja honorer K2 sama seperti PTT, bahkan setara dengan PNS / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Delapan orang perwakilan guru dan tenaga kependidikan honorer dengan usia 35 tahun ke atas (GTKNHK 35+) menyampaikan aspirasi untuk menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (P3K).

Kunjungan mereka diterima oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (27/1/2021).

“Akan kami carikan formulanya sehingga ada perubahan karena kami juga pernah perjuangkan honorer perawat,” ujar Moeldoko dalam keterangan tertulis.

Delapan perwakilan GTKNHK 35+ terdiri dari berbagai provinsi. Mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, hingga Sulawesi Utara. Sebagian besar telah menjadi guru dan tenaga kependidikan honorer lebih dari 15 tahun.

Salah satunya Yudha Aremba, yang merupakan Ketua I GTKNHK 35+. Yudha yang merupakan guru honorer salah satu sekolah dasar (SD) di Jawa Timur sudah memasuki masa pengabdian selama 16 tahun. Hingga kini mengaku hanya mendapat upah Rp 700.000 per bulan.

“Sehingga masa muda kami habis untuk mencari kerja sampingan. Ini merupakan bentuk beratnya kami menjalankan kehidupan,” kata Yudha.

Dari pengabdian itu, Yudha dan para anggota GTKNHK 35+ sempat menggelar rapat koordinasi nasional (Rakornas) pada Februari 2020.

Pada Rakornas GTKHNK 35+ disepakati dua tuntutan kepada Pemerintah. Tuntutan itu ialah permohonan pengangkatan sebagai ASN melalui Keputusan Presiden dan kenaikan upah untuk guru dan tenaga kependidikan honorer di bawah usia 35 tahun.

“Hasil Rakornas tersebut juga akan didukung oleh kajian akademik beberapa profesor dan doktor terkait dengan keadaan kami di lapangan,” kata Yudha.

Selain Yudha, ada juga Tinon Wulandari yang merupakan guru honorer di SMK. Wulan mengaku sempat bahagia saat mendengar kabar adanya rekrutmen untuk 1 juta orang melalui seleksi P3K.

Namun pada kenyataannya, ia merasa seleksi P3K tersebut tidak berpihak pada guru dan tenaga kependidikan honorer.

Sebab dalam perjalanannya, kata dia, seleksi P3K itu untuk umum dan tidak memperhitungkan masa bakti.

Sehingga bagi mereka guru dan tenaga kependidikan honorer usia di atas 35 tahun menjadi berat karena harus bersaing dengan yang lebih muda.

“Apalagi, selama ini kompetensi guru dan tenaga kependidikan honorer masih diragukan,” kata Wulan.

Wulan memaparkan, dari rencana formasi P3K 1 juta orang yang melalui proses usulan dari Pemerintah Daerah, ternyata hanya terealisasi sekitar 467.000 orang.

Ia melihat masih banyak Pemerintah Daerah yang tidak mau mengusulkan formasi karena terkait penggajian yang masih dilimpahkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Jadi, harapan kami tinggal Kepres. Tapi kami kembalikan lagi keputusan itu pada Pemerintah, karena kami yakin Pemerintah punya pertimbangan khusus,” ujar Wulan.

Moeldoko yang didampingi Deputi II KSP Abetnego Tarigan berjanji akan ikut memperjuangkan keinginan para guru honorer tersebut.

Ia mengaku menyadari kontribusi dan pengabdian guru dan tenaga kependidikan honorer sangat besar bagi pengembangan sumber daya manusia.

Selama ini, ia tahu masih banyak guru dan tenaga kependidikan honorer yang mendapat upah jauh dari standar. Bahkan, Moeldoko mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun prihatin dan sangat memperhatikan masalah ini.

“Karena kami punya semangat yang sama untuk membantu nasib guru dan tenaga kependidikan honorer. Setelah pertemuan ini, GTKNHK bisa berkomunikasi secara intens dengan KSP untuk memperjuangkan apa yang diinginkan,” tutur Moeldoko.

Exit mobile version