Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Menyoal Model Paradigma Profetik Ilmu Hukum

*Oleh: Budi Santoso

 

*Oleh: Budi Santoso

Kelahiran posmodernisme tidak terlepas dari penjungkirbalikan asums-asumsi saintifik dalam memandang alam semesta. Karena itu, pembahasan tentang Legal Disorder menjadi menarik dilihat dari kemunculannya yang erat kaitannya dengan posmodernisme hukum. Kondisi ini pada akhirnya membuka ruang untuk suatu transisi yang labil dan kemelut antara teori hukum yang dikukuhi pada era modern dengan gagasan-gagasan posmodernisme tentang hukum.

Akibat dari modernisme yang tidak lagi mampu diandalkan tersebut, maka ia mengalami serbuan kritik, Fredriech Nietzsche pertama kali melemparkan kritik pada abad 19, disusul dengan tokoh-tokoh lainnya pada tahun 1970-an bahkan Lyotard mencanangkan bahwa etos posmodernisme dengan dekonstruksinya sebagai antimodernisme atau musuh baru bagi modernisme. Berbeda dengan pandangan di atas, Kuntowijoyo melihat posmodernisme sebagai peluang untuk mendediferensiasikan agama dengan ilmu pengetahuan, lagi pula konflik agama dengan sistem pengetahuan rasional hanya terjadi dalam pemikiran agama yang bersifat Panteologis.

Sebagaimana diketahui,  sistem pemikiran yang cenderung panteologis yang digawangi pihak gereja memang sulit sekali menerima perkembangan sistem pengetahuan rasional, sehingga terjadi perceraian antara agama dan ilmu pengetahuan, antara ilmu dan nilai. Gagasan Kuntowijoyo dalam melakukan reintegrasi ilmu dan agama yang demikian juga ditemukan di kalangan pemikir barat. Titik beranjak dalam pengilmuan Islam seperti halnya Barbour adalah integralisasi yang berarti sebuah reposisi wahyu dalam ilmu pengetahuan.

Dalam konteks demikianlah, memahami apa yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dalam buku ‘’Ilmu Hukum Profetik Hampiran Basis Epistemologi Paradigmatik’’ karya Dr . Kelik Wardiono, S.H.,M.H bahwa umat harus berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan, yaitu humanisasi (memanusiakan manusia), liberasi (pembebasan manusia dari penindasan), dan transendensi (membawa manusia beriman kepada Tuhan). Lantas bagaimana model Paradigma Profetik dalam ilmu hukum?

Menurut Kelik, kata kunci yang dapat dijadikan panduannya adalah : 1. Norma dalam dunia normatife relatife yang berdialetik dengan dunia idea dan dunia empiris secara simultan, sebagai kata kunci dalam memahami aspek ontologi; 2. Integrasi antara ilmu dan agama (proses gerak eksistensi demistifikasi) sebagai kata kunci dalam memahami aspek epistemologis dan 3. Keadilan, sebagai kata kunci dalam memahami aspek aksiologi.

Dalam aspek ontologis, objek dari ilmu hukum adalah norma, dalam hal ini adalah norma-norma yang terdapat di dunia normative relative. Aspek transcendental paradigm profetik dalam ilmu hukum, ditandai dengan diakomodasikannya wahyu sebagai salah satu sumber. Hanya saja wahyu tersebut tidak secara an sich menjadi norma hukum, wahyu berpesan sebagai pedoman dalam pikiran dan tindakan seseorang dan dengan demikian ia menjadi unsur konstitutif.

Paradigma Profetik

Adapun dalam aspek epistemologis, meski paradigmatic profetik pada ilmu hukum mengakomodasi metode dan sifat transformasi teori kritis, akan tetapi teori kritis tidaklah mengakomodasi aspek transcendental dalam struktur banguanan filosofisnya. Selain itu, aspek trasendental paradigm profetik dalam ilmu hukum bukanlah bersifat dekodifikasi (dari teks ke teks) akan tetapi lebih berupaya

mengkaitkan teks dengan konteksnya. Paradigma profetik lebih dekat dengan teologi pembebasan., terutama dalam sifat heteropraxisnya. Adapun tahapan paradigm profetik dalam ilmu hukum secara epistemologis adalah sebagai berikut : Tahapan Pertama, sebagaimana dikemukakan Louay Safi, bagimanapun setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari Pra – Anggapan tertentu atau tidak bisa bebas nilai; sebagaimana wahyu juga mengandung ‘rasionalitas’ tertentu, sehingga dengan demikian realitas wahyu dan realitas empiris sama sama bisa menjadi sumber pengetahuan.

Melalui pemahaman, pelaksanaan dan penghayatan terhadap wahyu seseorang akan memiliki pra anggapan (pressuposisi) yang tidak bebas dari nilai. Pra anggapan ini merupakan hasil transformasi psikologis seteleh sesorang tidak saja mempelajari dan memahami teks wahyu akan tetapi juga melaksanakan dan menghayati ajaran ajaran agama, sehingga timbul keyakinan akan kebenaran teks tersebut. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai proses internalisasi.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ke dua adalah mengidentifikasi apakah kasus kongkrit tersebut merupakan kasus yang secara tegas sudah diatur dalam hukum positif, (peraturan perundang undangan) atau belum. Bila ada, maka akan dilanjutkan dengan kegiatan tahap ke tiga, sedang bila tak ada akan dilakukan penafsiran untuk menganalogikan kasus konkrit tersebut dengan norma-norma dalam peraturan perundang undangan. Namun jika tidak bisa, maka kegiatan tersebut tidak berlanjut.

Tahap ke tiga, memahami realitas yang dialami atau yang dihadapi dengan cara yang baru, dan mendalam terkait dengan kasus konkrit yng sudah teridentifikasi pada tahap ke dua. Tahap ini, merupakan upaya untuk memahami konteks sosial di mana kasus kongkrit terjadi. Dalam hal ini akan dilakukan upaya mengidentifikasi dan mengkontruksi realitas yang teralami, oleh mereka yang terlibat dalam suatu kasus konkrit tertentu. Pembacaan dan penafsiran terhadap realitas, mendasarkan pada apa yang oleh Louay Safi sebut sebagai inferensi, sebuah model interprestasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks di mana teks itu berada.

Dengan demikian, penafsir bisa melakukan internaslisasi dan upaya membangun konstruks teoritis yang bersumber dari wahyu. Selanjutnya tahap ke empat menerapkan kesangsian ideologis, pada seluruh super struktur ideologis. Disusul kemudian tahap ke lima, hasil dari tahap-tahap sebelumnya dijadikan sebagai dasar untuk melakukan pembacaan, penafsiran dan penegakkan norma norma di dalam peraturan perundang undangan yang kemudian digunakan untuk menilai suatu kasus kongkrit tertentu, keputusan yang diambil akan mengantarkan orang pada makda realitas yang tengah dikaji. Hasil ini akan ditranformasikan ke masyarakat sesuai dengan cita etik profetik. Tahapan tahapan yangberdasarkan kegiatan ilmiah yang bersifat obyektif, sehingga dapat diuji dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tahapan ini oleh Kuntowijoyo disebut sebagai proses transpormasi sosial.

Dalam paradigm profetik, kegiatan integrasi tidaklah berhenti pada pertanggungjawaban secara ilmiah, terhadap satu tahapan lagi yaitu proses transformasi psikologis yang bukan merupakan bagian dari kegiatan ilmiah. Pada tahap ini akan dilakukan refleksi terhadap semua tahapan. Sebagai hasil transformasi psikologis seseorang akan memiliki pra anggapan yang tidak bebas nilai.

Melalui aspek aksiologis dengan mendasarkan pada nilai nilai transcendental, liberasi dan humanisasi sebagai sumber paradigma profetik dalam ilmu hukuim, selain bertujuan untuk menjadikan manusia yang bisa mewujudkan kebaikan untuk diri sendiri dan memposisikan dirinya secara adil dalam tataran relitas secara keseluruhan, juga bertujuan untuk mewujudkan keadilan baik bagi dirinya maupun lingkungan dan alam semestanya. (*)

—*Penulis adalah Staf Pengajar FKI UMS —

Exit mobile version