Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Ribuan Anjing dari Sragen Diperdagangkan dengan Kejam untuk Konsumsi di Solo Raya, Koalisi DMFI Desak Pemkab dan Bupati Segera Menghentikan. Ingatkan Ancaman Bahaya Wabah Rabies!

Sebuah tangkapan layar hasil investigasi DMFI Solo teekait aktivitas kejam perdagangan anjing-anjing untuk dipasok dan disembelih. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sejumlah relawan pemerhati anjing yang tergabung dalam Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) Solo mendatangi Dinas Peternakan dan Perikanan Sragen, Selasa (19/1/2021).

Mereka mendesak agar Pemkab dan dinas segera bergerak menghentikan aktivitas perdagangan dan penjualan anjing yang dilakukan oleh para pengepul asal Sragen.

Pasalnya, selain melanggar aturan, mereka menganggap perdagangan anjing untuk dikonsumsi itu dinilai juga sangat berpotensi menebar ancaman penyebaran penyakit rabies.

Koalisi DMFI itu datang dipimpin oleh Koordinator DMFI Solo, Mustika Cendra. Mereka kemudian diterima dan beraudiensi dengan Disnakkan yang diwakili Kabid Kesehatan Hewan, Toto Sukarno.

Dalam audiensi itu, Mustika mengaku prihatin dengan fenomena maraknya penjualan anjing yang digawangi oleh pengepul asal Sragen. Bahkan ia tercengang ketika mendengar bahwa Sragen adalah pemasok anjing untuk konsumsi terbesar di Solo Raya.

Menurutnya hal itu sudah melanggar aturan karena anjing adalah hewan domestik yang mestinya tidak diperdagangkan untuk dikonsumsi. Karenanya ia meminta agar instansi terkait segera bergerak menghentikan semua aktivitas tersebut.

“Kami terus terang prihatin dengan berita bahwa Sragen adalah pemasok daging anjing terbesar di Solo Raya. Makanya kami berharap dinas dan Pemkab bertindak untuk menghentikan,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , usai audiensi.

Perempuan yang akrab disapa Cik Meme itu menuturkan apapun alasannya, penjualan anjing hidup untuk konsumsi tak bisa dibenarkan. Hal itu merupakan tindakan ilegal.

Sangat Kejam 

Terlebih, dari hasil investigasi koalisinya, praktik pengangkutan anjing-anjing yang didatangkan dari Jawa Barat oleh pengepul Sragen itu dilakukan dengan sangat kejam.

“Mereka melakukannya sangat kejam. Anjing itu bukan bahan untuk dikonsumsi dan anjing itu termasuk kategori hewan domestik atau hewan peliharaan. Sehingga mestinya tidak diperdagangkan. Dan hasil investigasi kami, mereka (pengepul) sekali bawa dari Jawa Barat bisa 100 ekor anjing perminggu. Dan itu hanya satu orang saja,” terangnya.

Audiensi DMFI Solo dengan Disnakkan Sragen, Selasa (19/1/2021). Foto/Wardoyo

Ancaman Rabies 

Kemudian, Cik Meme juga menyampaikan penghentian praktik perdagangan anjing juga untuk menyelamatkan manusia dari ancaman rabies. Sebab selain konsumen yang memakan daging anjing, warga sekitar yang tak mengonsumsi pun bisa terdampak.

Apalagi, Jawa Barat sendiri diketahui belum bebas rabies sedangkan Jawa Tengah sudah bebas rabies.

“Kemudian mengacu peraturan yang ada, hewan yang di bawa dari tempat atau daerah yang belum bebas rabies tidaklah semudah itu dan harus melalui proses karantina,” tuturnya.

Dalam audiensi itu, pihak Disnakkan mengaku sebenarnya sudah tak henti melakukan upaya pembinaan dan sosialisasi agar pengepul bisa bertobat dan beralih profesi. Namun upaya itu tak jua meluruhkan praktik jual-beli anjing.

Sementara untuk menjerat dengan tegas, belum ada payung hukum berupa Perbup atau Perda. Karenanya Cik Meme berharap agar Pemkab melalui Bupati bisa menerbitkan Perda untuk melarang perdagangan dan konsumsi anjing seperti daerah lain, di Karanganyar.

“Tadi dari Pak Kadis sudah siap untuk bersama-sama menyampaikan hal ini ke Bu Bupati. Kami juga akan menghadap Bupati, harapan kami segera dibuat Perda sehingga praktik ini bisa segera dihentikan. Kepentingannya hujan hanya menyelamatkan anjingnya, tapi yang lebih penting menyelamatkan manusia dari penyebaran rabies karena rabies hingga saat ini belum ada yang bisa disembuhkan,” tandasnya.

Payung Hukum Perda

Kabid Kesehatan Hewan Disnakkan Sragen, Toto Sukarno mengatakan perdagangan anjing untuk konsumsi memang melanggar aturan pemerintah dan agama. Selama ini pihaknya juga tak tinggal diam dengan selalu melakukan sosialisasi dan imbauan ke pengepul agar segera menghentikan.

Namun imbauan itu tetap tak membuat mereka tersadar dan berhenti. Dari 12 pengepul anjing yang ada di Gemolong dan Plosokerep, hanya ada tiga yabg berhenti sedang 9 lainnya nekat beroperasi.

“Kami sebenarnya sudah bergerak tapi kalau untuk menindak tegas, selama ini belum ada payung hukumnya. Harapan kami juga menuju ke Perda karena paling pas dibuat Perda seperti di Karanganyar,” terangnya.

Toto menambahkan selama ini masih ada sembilan pengepul yang masih beroperasi. Kapasitas pasokan mereka bervariasi ada yang 20 ekor sampai bahkan sampai 100 ekor per minggu.

“Mereka dapat dari Jawa Barat daerah Tasik, Garut, Sumedang itu. Dari sana dibawa ke Sragen lalu baru disetorkan ke penjual-penjual atau warung – warung di Solo dan sekitarnya. Rata-rata satu ekor dijual tergantung besar kecilnya tetapi kira-kira harganya sekitar Rp 200-300.000,” tandasnya.

Dengan asumsi satu pengepul memasok 100 ekor per minggu, maka dalam sebulan dari 9 pengepul itu bisa memasok antara 1.000 hingga 2.000 ekor per bulan.

Toto menambahkan dari sisi peternakan, hewan anjing memang boleh diternkan Tapi untuk konsumsi atau dimakan dagingnya itu tidak boleh karena ada undang-undangnya yang berbunyi daging yang dikonsumsi harus aman, sehat, utuh dan halal.

“Nah kalau daging anjing ini, aspek keempat kehalalannya yang tidak terpenuhi. Kami juga sudah berkali-kali mengumpulkan mereka (pengepul). Pak Kadinas sudah menyampaikan, nanti tinggal bagaimana Bupati dan DPRD untuk membuat Perda,” tandasnya. Wardoyo

Exit mobile version