JOGLOSEMARNEWS.COM Umum Nasional

Gong Xi Fa Cai, Ini Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia: Sempat Dilarang di Era Orde Baru hingga Jadi Hari Libur Nasional

Perayaan Imlek di Solo pada tahun 2019. Foto: JSNews/Triawati
   

JOGLOSEMARNEWS.COM Masyarakat Tionghoa hari ini merayakan hari raya Imlek, Jumat (12/2/2021). Meski tahun ini, perayaan Tahun Baru China tidak bisa dirayakan secara meriah lantaran masih dalam situasi pandemi Covid-19.

Di Indonesia sendiri, dalam sejarahnya, perayaan Imlek sempat mengalami pasang surut. Dari yang diizinkan dirayakan dengan bebas, terbatas, bahkan sempat juga dilarang secara tegas.

Masyarakat Tionghoa di Tanah Air tercatat sudah ada selama berabad-abad, bahkan diyakini telah berada di wilayah Indonesia sejak abad ke-5. Karenanya, tidak aneh bila tradisi Tionghoa telah ada secara turun temurun bahkan sejak zaman kolonial Belanda.

Pada masa Hindia-Belanda, tradisi perayaan Imlek sempat dibatasi dengan tidak boleh melakukan perayaan besar-besaran seperti menyalakan kembang api dan menggelar arak-arakan Barongsai di jalan.

Namun, dipaparkan Dosen Program Studi Belanda Universitas Indonesia, Achmad Sunjayadi, hal itu bukan berarti perayaan Imlek dilarang, melainkan hanya melarang digelar acara yang pada masa itu dinilai membahayakan dan menganggu ketertiban umum.

“Pelarangan ini sudah dikeluarkan sejak masa VOC pada abad ke-17, seperti pelarangan kembang api. Hal ini terkait bahaya kebakaran, mengingat pada masa itu masih banyak atap rumah-rumah penduduk yang terbuat dari rumbia yang mudah terbakar. Sedangkan arak-arakan barongsai di jalanan terkait ketertiban,” kata Achmad seperti dikutip Republika.co.id, Kamis (11/2/2021).

Namun pada tahun 1740, kehidupan warga Tionghoa di Nusantara kembali terguncang dengan terjadinya peristiwa Chinezenmoord atau Geger Pecinan, yakni pembantaian terhadap orang-orang China pada bulan Oktober 1740 di Batavia. Peristiwa tersebut tentu berpengaruh terhadap perayaan Imlek.

Warga keturunan Tionghoa di Hindia-Belanda secara rutin merayakan Imlek sebagai perayaan pergantian tahun dan pesta menyambut datangnya musim semi. Hal itu dipengaruhi mayoritas penduduk China yang merupakan petani dan menganggap musim semi sebagai awal kehidupan baru setelah berhasil melalui musim dingin.

Baca Juga :  Usai TPN Ganjar-Mahfud Daftarkan Gugatan ke MK, PDIP Pastikan Bakal Menggulirkan Hak Angket di DPR

Achmad menjelaskan, akibat peristiwa 1740, ruang gerak warga Tionghoa menjadi sangat dibatasi oleh pemerintah VOC.

Bahkan warga keturunan Tionghoa dipindahkan ke wilayah-wilayah tertentu yang dinamakan Chinesewijk. Hal ini agar warga Tionghoa menjadi lebih mudah diawasi.

Aturan ini dikenal dengan wijkenstelsel yang melarang warga Tionghoa tinggal di luar wilayah mereka.

Bahkan, pada 1816 dikeluarkan peraturan Passenstelsel, yaitu peraturan yang mengharuskan warga keturunan Tionghoa membawa surat jalan jika ingin melakukan perjalanan ke wilayah di luar Chinesewijk.

Kemudian, pada 1828 dikeluarkan aturan baru yang menetapkan, apabila ada 25 keluarga keturunan China di dalam sebuah kampung, maka mereka akan ditempatkan tersendiri di bawah kepala kampung Cina dan membentuk Chinesewijk.

“Peraturan ini diterapkan hampir di seluruh wilayah di Hindia. Di dalam wilayah mereka itu, perayaan Imlek dapat diselenggarakan tanpa menganggu wilayah lainnya,” papar Achmad.

Pendudukan Jepang dan Orde Lama

Kemudian setelah Jepang datang dan menduduki wilayah Indonesia, masyarakat keturunan Tionghoa dapat lebih bebas merayakan Imlek.

Hal itu setelah pemerintahan Jepang, berdasarkan keputusan Osamo Seirei Nomor 26 tanggal 1 Agustus 1943, memberikan kebebasan kepada warga keturunan Tionghoa untuk melakukan berbagai perayaan budaya dan agama di Indonesia, termasuk merayakan Imlek. Bahkan, perayaan Imlek dijadikan hari libur resmi.

Hal ini tentu berkaitan dengan hubungan Jepang dan China. Jepang lebih melihat Belanda dan negara-negara Eropa, kecuali Jerman dan Italia, sebagai negara musuh.

Selanjutnya, pada tahun 1945, Indonesia merdeka dari penjajah. Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, atau yang disebut era Orde Lama, perayaan Imlek juga diizinkan.

Pada masa Revolusi, Presiden Soekarno mengeluarkan pengumuman boleh mengibarkan bendera Tiongkok dalam setiap perayaan Tionghoa.

Menurut Achmad, kebebasan perayaan Imlek pada masa Soekarno lebih berhubungan dengan politik. Pada masa itu, Presiden Soekarno sedang membangun persahabatan dengan pemerintah China.

Baca Juga :  NasDem Mulai Bermanuver, PKS Tak Mau Bertemu Prabowo Sebelum Ada Ketetapan MK

“Presiden Soekarno mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 2/OEM tahun 1946 mengenai Hari Raya Umat Beragama. Pada butir pasal 4 disebutkan bahwa Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur), hari lahir, dan wafatnya Khonghucu sebagai hari libur,” kata Achmad Sunjayadi.

Orde Baru hingga Resmi Jadi Hari Libur Nasional

Namun, pada masa Orde Baru, perayaan Imlek kembali dilarang setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tiongkok.

Inpres tersebut menyatakan melarang perayaan Imlek di depan publik dan hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruang tertutup.

“Kebijakan ini diberlakukan karena pemerintah Orde Baru khawatir munculnya kembali ajaran komunis melalui etnis Tionghoa. Apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan dengan negeri Tiongkok,” tutur Achmad.

Sedangkan menurut Prof Arief Budiman, awal mula diterbitkannya peraturan tersebut adalah persaingan antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, PKI berhubungan erat dengan Republik Rakyat China. Berdasarkan hal itu, Pemerintahan Orde Baru mengidentikkan komunis dengan China.

Kemudian semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Inpres Nomor 14/1967 yang diterbitkan Soeharto dicabut melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang dikeluarkan pada 17 Januari 2000. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyakat Tionghoa dapat kembali merayakan adat istiadatnya secara terbuka.

Pada 2001, Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan yang menyebut hari raya Imlek menjadi hari libur fakultatif bagi masyarakat yang merayakan.

Barulah pada tahun 2002, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dikeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Melalui Keppres tersebut, hari raya Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional di Indonesia.

www.republika.co.id

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com