SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Jejak budaya dan ritual keagamaan masyarakat asal Tionghoa di Kota Solo cukup mudah dikenali.
Sejak keran keterbukaan dibuka oleh mendiang Presiden Abdurrachman Wahid beberapa tahun silam, jejak budaya tersebut makin meruap ke permukaan, menambah keanekaragaman budaya di Kota Solo.
Jejak tradisi dan kepercayaan masyarakat Tionghoa yang masih hidup dapat disaksikan misalnya lewat perayaan Imlek yang selalu digelar setiap tahun.
Peraayaan Imlek tahun lalu, sebelum pandemi Covid-19 mendera, berjalan dengan sangat meriah. Di Tugu Gladag hingga kawasan Ngejaman di depan pasar Gede, dihiasi dengan lampion warna-warni.
Namun untuk tahun 2021 ini, perayaan Imlek ditiadakan, demi mencegah kemungkinan terjadinya kerumunan.
Di luar perayaan Imlek, jejak tradisi kepercayaan masyarakat Tionghoa juga dapat dilihat dari living monument berupa kelenteng.
Cukup mudah untuk menjumpai kelenteng di Kota Solo, karena jumlahnya yang lumayan banyak dan tersebar di beberapa sudut kota.
Salah satu bangunan Kelenteng yang paling tua dan unik di Kota Solo adalah Kelenteng Tien Kok Sie.
Kelenteng ini terletak di Pasar Gede, pasar paling tua dan legendaris di Kota Solo. Bangunan tempat ibadah bagi umat penganut kepercayaan Tionghoa ini dibangun pada tahun 1745 sampai 1748.
“Jadi usianya sudah cukup tua,” demikian ujar Sumantri Dana Waluyo (64) sebagai kepala yayasan Kelenteng Tien Kok Sie, Senin (8/2/2021).
Sumantri berkisah, konon Kelenteng Yien Kok Sie dibangun hampir bersamaan dengan masa kepindahan Keraton Kartasura ke Surakarta.
Menurut Sumantri, Kelenteng Yien Kok Sie belum pernah mengalami renovasi total sejak berdirinya hingga sekarang ini. Paling tidak, renovasi kecil hanya dilakukan dengan memperbarui cat yang sudah kusam.
Sumantri menceritakan, ide nama Tien Kok Sie muncul sesuai dengan konteksnya pada masa itu. Di mana perpindahan Kraton Kartasura ke Surakarta diwarnai peperangan dan huru hara hebat yang dikenal dengan sebutan geger pecinan.
“Oleh sebab itu, Kelenteng ini dinamakan Tien Kok Sie. Tin berarti pelindung, Kok artinya negara, dan Sie berarti tempat ibadah atau klenteng. Jadi Tien Kok Sie artinya tempat ibadah untuk perlindungan negara,” ujarnya.
Sumantri mengatakan, setiap kelenteng memiliki ciri khas dan keunikan yang berbeda-beda. Demikian pula dengan Kelenteng Tien Kok Sie.
Salah satu keunikan dari Kelenteng Tien Kok Sie adalah bangunannya yang masih asli, dan belum pernah diubah dari awal pembuatannya.
Selain itu, kelenteng yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu ini memiliki ukiran tiga dimensi.
“Ukiran sangat luwes, indah dan halus,” ucap Sumantri.
Monumen Hidup
Kelenteng Tien Kok Sie bukanlah monumen mati (dead momument), melainkan monumen yang tetap hidup (living monument), karena bangunannya masih difungsikan sebagaimana fungsi utamanya, ritual berdoa.
Sumantri menceritakan, sistem ritual di Kelenteng Tien Kok Sie ada tiga macam. Pertama adalah ritual individu atau perorangan. Ritual ini dapat dilakukan setiap saat.
Yang kedua adalah ritual wajib. Ritual ini dilakukan pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, yakni dengan memberikan sesaji berupa buah-buhan.
“Ketiga adalah ritual besar, yang dibimbing oleh pendeta,” beber Sumantri.
Dalam hal ritual besar di kelenteng ini, Sumantri melanjutkan, terdapat empat jenis. Pertama, ritual malam tahun baru Imlek, yang berlangsung sekitar bulan Februari.
Kedua adalah ritual untuk memperingati Dewi Kuantin naik ke Nirwana. Ritual besar ini biasanya diadakan pada bulan Juli – Agustus.
“Bulan September juga ada peringatan ritual besar,” ujar Sumantri menutup pembicaraan. Reza Pangestika