WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Secara administratif, Nglaroh hanyalah nama sebuah dusun kecil di Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri.
Akan tetapi, nama Nglaroh telah ratusan tahun tertera dalam babad-babad, yang menceritakan jejak perjuangan serta kepahlawanan Pangeran Sambernyawa.
Nglaroh adalah tempat berlabuh pertama Pangeran Sambernyawa, setelah dia bersama dengan Sutawijaya keluar dari Kraton Kartasura.
Bukan hanya sekadar toponimi semata, namun jejak Pangeran Sambernyawa di kawasan ini terekam pula di atas fragmen-fragmen secara fisik, salah satunya adalah peninggalan berupa watugilang.
Watugilang ini berukuran panjang sekitar 1,5 meter dan lebar 0,5 meter, dengan bentuk yang tidak beraturan.
Pada bagian atas permukaan batu tersebut terdapat lima buah cekungan.
Juru Kunci petilasan Watugilang, Yoko Hardiyanto pernah mengisahkan, dulunya watugilang tersebut digunakan oleh Pangeran Sambernyawa sebagai alat untuk menyusun strategi saat berperang melawan Belanda.
Peninggalan watugilang tersebut juga dipercaya bagi orang-orang tertentu sebagai tempat untuk berziarah dan mengajukan permohonan.
Tiap malam Jumat, khususnya Jumat Legi, banyak pengunjung yang melakukan ziarah, baik dari Solo, Karanganyar, Salatiga maupun dari daerah laih di wilayah Jawa Tengah.
Para pengunjung tidak semuanya melakukan ziarah, namun banyak juga yang datang untuk melihat dan melakukan penelitian.
Peninggalan Watugilang tersebut kini dikelola oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri.
Mulai tahun 1991, petilasan Watugilang ini oleh Pemkab Wonogiri dijadikan sebagai tempat sentral perayaan hari jadi Pemkab Wonogiri.
Watugilang tersebut oleh banyak orang juga sering disebut sebagai sendang Drajat. Disebut sedang, karena di belakang watugilang tersebut terdapat sebuah sendang, yang airnya dipercaya memiliki khasiat untuk nggayuh drajat (kedudukan dan pangkat) bagi orang-orang tertentu.
Meski dinamakan sendang atau sumber air, namun sendang tersebut sekarang wujudnya sumur biasa. Orang yang datang untuk ziarah dan memiliki gegayuhan di watu Gilang, biasanya dilanjutkan mandi di sendang Drajat ini.
Untuk mencapai lokasi petilasan Watugilang Selogiri ini tidak sulit. Dari kantor Kecamatan Selogiri, kita masuk ke jalan pedesaan ke arah barat.
Kira-kira 500 meter, terdapat jalan bercabang. Cabang yang ke kiri adalah jalan yang mengarah ke petilasan Watu Gilang.
Setelah membelah areal persawahan dan perkampungan di kanan kiri jalan sejauh kira-kira dua kilometer, petilasan Watu Gilang terletak di sisi kanan jalan.
Kompleks petilasan Watugilang ini ditandai dengan bangunan Joglo terbuka dengan halaman yang luas. Di sana sudah terdapat papan nama peninggalan watugilang tersebut.
Membangun Basis Pertahanan
Bagaimana kisah perjalangan Pangeran Sambernyawa sekeluar dari Keraton Kartasura hingga sampai ke Dusun Nglaroh?
Syahdan, setelah keluar dari Keraton Kartasura bersama Sutawijaya, Pangeran Sambernyawa akhirnya berlabuh di Nglaroh, Wonogiri.
Tekatnya sudah bulat, untuk melawan Belanda dan Sinuhun PB II.
Keinginan tersebut mendapat dukungan penuh dari Kyai Wiradiwangsa, yang kemudian mengajaknya membangun kekuatan di Nglaroh, Selogiri, Wonogiri.
Sutawijaya juga mendukung rencana tersebut, dengan tangan terbuka mengajak putra-putra para Bupati yang sakit hati untuk membantu perjuangannya.
Di tempat kediaman baru di Nglaroh, Selogiri, Wonogiri inilah, Pangeran Sambernyawa beserta kerabat dan para pengikutnya membangun rumah dan mempersiapkan segala sesuatunya.
Sejak awal kedatangannya ke tempat itu, Pangeran Sambernyawa hanya diikuti oleh sekitar 24 orang saja.
Namun lambat laun, Pangeran Sambernyawa berhasil menghimpun orang-orang Nglaroh untuk diajaknya bergabung.
Selain melakukan persiapan secara fisik berupa keterampilan berperang, Pangeran Sambernyawa dan para pengikutnya juga berguru kepada para pinisepuh atau orang-orang tua yang memiliki kelebihan ilmu olah kanuragan dan olah kebatinan.
Pada siang hari mereka berlatih perang dengan berbagai macam senjata, mulai dari pedang, tombak maupun panah dan olah keterampilan menunggang kuda.
Kemudian malam harinya mereka berlatih olah kebatinan, serta bersamadi di sendang-sendang.
Oleh karena darma baktinya dan pengorbanannya yang sangat besar kepada Pangeran Sambernyawa, maka Sutawijaya diangkat menjadi Lurah Punggawa, dengan nama Kyai Ngabei Rangga Panambangan.
Sementara itu, Kyai Wiradiwangsa berganti nama menjadi Kyai Ngabei Kudanawarsa dan menjadi patih bagi Pangeran Sambernyawa.
Dua tokoh ini yang kelak menjadi pengikut serta penasihat setia bagi Pangeran Sambernyawa. Sementara itu, para pengawalnya diberi nama yang khas, di mana pada awal nama mereka menggunakan kata Jaya.
Kata Jaya melambangkan kaprawiran, ketangguhan dan keunggulan.
Ada yang diberi nama Jayautama, Jayaprameya, Jayawilanten, Jayasantika, Jayapuspita, Jayasudarga, Jayasudarma, Jayadipura, Jayaleyangan, Jayajagaulatan, Jaya Alap-alap, Jayapanamur, Jayapamenang, Jayapanantang, Jayatilarsa, Jayawinata, Jayaprangrawit dan Jayaprawira.
Setelah persiapan fisik, seperti keterampilan berperang dan kesiapan mental Pangeran Sambernyawa dan seluruh pasukannya dianggap mencukupi, sudah saatnya mereka bergabung kembali dengan Sunan Kuning untuk melawan Belanda dan Sinuhun Paku Buwana II. Suhamdani
Disarikan dari Babad Panambangan