JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Misteri pemicu amblegnya harga gabah saat panen raya ini terkuak. Diduga kuat rencana pemerintah mengimpor beras pasca panen raya ini dituding turut mendorong harga gabah terjun bebas.
Pemerintah pun diminta meninjau ulang rencana impor beras setelah panen raya berakhir. Volume dan waktu impor sebaiknya ditentukan pada Juli atau Agustus ketika potensi produksi sepanjang 2021 dapat diketahui.
“Jika ingin mengimpor sebaiknya tunggu Juli atau Agustus ketika sudah ada kepastian berapa potensi produksi 2021. Jika memang kurang silakan impor, kalau tidak kurang tidak perlu impor karena produksi tahun ini diperkirakan memang bagus,” kata Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa ketika dihubungi wartawan Minggu, 7 Maret 2021.
Dwi mengemukakan wacana impor menjelang masa panen raya ini menjadi pukulan tersendiri bagi petani di tengah harga gabah kering panen (GKP) yang terus turun sejak September 2021.
Menurutnya, alasan importasi untuk menjaga stok cadangan beras pemerintah (CBP) tidak bisa diterima karena Perum Bulog sebagai pengemban tugas seharusnya menyerap beras petani lebih banyak tahun ini.
Hasil proyeksi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan produksi padi nasional untuk periode Januari–April 2021 bakal lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya akibat naiknya potensi luas panen.
Hasil survei kerangka sampel area (KSA) yang dilakukan BPS menunjukkan luas panen padi pada musim Januari–April 2021 mencapai 4,86 juta ha atau naik sekitar 1,02 juta ha (26,53 persen) dibandingkan dengan sub round Januari–April 2020 yang sebesar 3,84 juta ha.
Dengan potensi luas panen yang besar, produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari–April mencapai 25,37 juta ton atau naik 26,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jika dikonversi menjadi beras, potensi produksi pada periode Januari–April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton beras atau mengalami kenaikan sebesar 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan dengan produksi beras pada sub round yang sama tahun lalu sebesar 11,46 juta ton.
“Potensi kenaikan masa panen raya kali ini cukup tinggi menurut perkiraan BPS. Jika pemerintah mau mengimpor 1 juta ton mau disalurkan ke mana? Usia beras ini kan hanya 6 bulan,” kata Dwi.
Dwi mengatakan impor yang berlebihan bisa merusak harga beras di pasaran karena Bulog tidak bisa menyimpan beras dalam jumlah besar terlalu lama.
Di sisi lain, potensi produksi beras yang naik seharusnya diiringi dengan peningkatan serapan beras lokal oleh perusahaan pelat merah tersebut, bukan penugasan impor.
“Wacana impor beras menjelang panen raya ini sangat menyakitkan bagi petani. Hal tersebut bisa makin menjatuhkan harga di tingkat usaha tani. Kami minta dibatalkan, kalau tetap impor harap ditinjau lagi volume dan waktunya,” kata dia.
Laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat juga menunjukkan produksi beras global pada 2020/2021 bakal lebih tinggi didukung oleh naiknya produksi di Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka.
Proyeksi per Februari memperlihatkan bahwa produksi beras Indonesia periode Agustus 2020-Juli 2021 bisa mencapai 35,5 juta ton atau naik dari proyeksi Januari 2021 yang berada di angka 34,9 juta ton.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam paparannya di Rapat Kerja Kementerian Perdagangan sebelumnya mengemukakan importasi dilakukan untuk menjamin stok Bulog di angka 1 sampai 1,5 juta ton.
Pada saat yang sama, perusahaan pelat merah tersebut juga akan menyalurkan 400 ribu ton beras bantuan sosial dalam rangka pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Importasi pun dilakukan sebagai antisipasi terhadap produksi yang berpotensi terganggu akibat kondisi cuaca.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi tidak memberi kepastian soal volume impor dan waktu kedatangan impor beras. Tetapi, dia menyatakan impor dilakukan untuk mengamankan iron stock yang keadaannya tidak terikat dengan kondisi panen.
“Impor yang dilakukan ini adalah untuk iron stock. Barang yang memang disiapkan Bulog sebagai cadangan besi di mana dia harus memastikan bahwa barang itu harus selalu ada dan tidak bisa dipengaruhi panen. Ini sudah kami sepakati sudah kami perintahkan. Waktu, tempat, dan harga itu di tangan saya,” kata Lutfi.
Harga Panen Ambleg
Rencana impor itu dinilai menyesakkan petani. Sebab saat ini kalangan petani di Sragen menjerit mengeluhkan merosotnya harga jual gabah pada musim panen saat ini.
Pasalnya, harga jual tebasan gabah di sawah saat ini merosot drastis hingga separuh dari harga normal.
Mereka pun menduga ada permainan tak wajar dari para pelaku usaha gabah dan beras yang membuat harga di lapangan menjadi hancur.
Merosotnya harga gabah terjadi merata di hampir semua wilayah di Sragen. Tak pelak, hampir semua petani menjerit dan menangis mengalami kerugian.
Sukarno (45) petani asal Desa Plupuh, Kecamatan Plupuh menuturkan benar-benar sedih atas kondisi panen saat ini. Sebab harga jual gabah benar-benar anjlok drastis.
Saat panen normal, gabah satu hektar bisa dihargai Rp 30-35 juta oleh penebas atau tengkulak. Namun saat ini hanya Rp 15-17 juta atau hanya separuhnya dari harga normal.
“Nggak tahu penyebabnya. Panen raya kali ini harga benar-benar hancur. Sedih rasanya Mas, petani sudah susah payah menanam, biaya produksi dan pupuk mahal, giliran jual harganya hancur,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Minggu (28/2/2021).
Karni menguraikan untuk sawahnya yang di tepi jalan dan akses panen lebih mudah, memang masih laku Rp 20 juta satu hektar.
Namun untuk lahan petani yang sawahnya jauh dari jalan hanya sekitar Rp 15 juta per hektar. Itu pun tak jarang ketika bayaran masih dikurangi lagi dengan alasan penebasnya merugi atau hasilnya di bawah taksiran.
”Jelas kita rugi, karena kemarin saja pupuk juga non subsidi, pupuk subsidi tidak cukup. Kalau cuma dihargai segitu ya tidak seimbang,” ujarnya.
Ia mengatakan harga panen kali ini terbilang anjlok sekitar 60 persen dari penjualan normal. Dia menjelaskan pada umumnya para petani menjual langsung ke penebas apapun kondisi padi di sawah.
Karena jika memaksakan memanen sendiri juga butuh biaya dan tenaga lagi. Sementara biasanya petani sangat butuh uang untuk menutup utang saat produksi dan persiapan tanam berikutnya.
Ia tidak tahu penyebab merosotnya harga gabah. Sebagai petani biasa, dia berharap pemerintah bergerak dan mengeluarkan kebijakan yang bisa menyelamatkan petani.
”Kita tidak tahu harus bagaimana, yang jelas kita butuh kehadiran pemerintah saat petani menangis seperti saat ini,” ujarnya. (Wardoyo/Tempo.co)