Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Ancaman Pidana dalam Tindakan Cyber Bullying

Ilustrasi Cyber Bullying. Pixabay

Penulis: Abdul Chamid Chaidar1)

Dalam menggunakan media sosial tersebut sebagian orang belum paham bahwa ada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khusus mengatur tentang kejahatan dunia maya (cyber crime) kejahatan tersebut dapat berupa pelecehan atau prostitusi, penipuan, bullying, penyebaran berita palsu (hoax) dan bahkan kekerasan. Cybercrime adalah segala tindakan yang merugikan orang lain dengan menggunakan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan serta sistem dan data di dalamnya sebagai target.

Andi Hamzah (1989) berkata bahwa, “Aspek-aspek Pidana di Bidang komputer”, mengartikan kejahatan komputer sebagai: ”Kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”. Secara singkat dapat saya katakan bahwa cybercrime dapat didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet sebagai media utama yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.

Salah satu tindak kejahatan di media sosial adalah cyberbullying. Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying/ perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Adapun menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental.

Kata kekerasan dalam frasa ancaman kekerasan mengandung arti perbuatan (aktif atau fisik) orang dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar/kuat, atau menggunakan kekuatan yang lebih dari biasanya (het aanwenden van kracht vanenige betekenis) (Satochid Kartanegara, tanpa tahun: 587).

Sementara pada ancaman kekerasan, kekuatan fisik yang besar tadi belum diwujudkan, namun akan diwujudkan/terwujud yang menyebabkan orang yang dituju merasa khawatir, cemas dan ketakutan.

Wujud nyata kekuatan fisik yang besar itu tidak dikehendaki oleh si penerima informasi. Karena dapat menimbulkan penderitaan fisik. Misalnya ancaman akan dibunuh atau akan di pukul. Si penerima informasi sangat percaya bahwa wujud nyata akan diwujudkan. Oleh karena itu menimbulkan tekanan psikis, seperti perasaan khawatir, takut, cemas kekerasan itu benar-akan terwujud/terjadi. Perasaan-perasaan semacam itu sangat tidak mententramkan jiwa, suatu penderitaan batiniah. Tekanan psikis semacam itu selalu dihindari oleh setiap orang (Adami Chazawi, 2015: 136).

Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 45B UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirumuskan dalam satu naskah, bunyinya sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Yang perlu diperhatikan dalam usaha membuktikan unsur “dengan sengaja” (opzettelijk) yang dicantumkan dalam rumusan (Adami Chazawi, 2015: 13):

  1. Keterangan di dalam Memorie van Toelichting(MvT) WvS Belanda.
  2. Keadaan jiwa si pembuat ketika melakukan perbuatan.
  3. Semua keadaan objektif ketika perbuatan dilakukan.

Tiga pedoman dalam hal membuktikan unsur sengaja tersebut, hendaknya digunakan serentak. Pertimbangan hukum tentang tiga pedoman tersebut dimulai dalam requisitoir jaksa. Bila cara pembuktian mengenai unsur sengaja oleh jaksa tersebut baik dan tepat, tentu saja bisa diambil alih ke dalam pertimbangan hukum putusan oleh majelis hakim (Adami Chazawi, 2015: 20).

Unsur melawan hukum ditulis dengan frasa “tanpa hak”. Mencantumkan unsur tanpa hak dirasa berlebihan. Sebagaimana keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, unsur melawan hukum baru dicantumkan apabila ada kekhawatirkan tentang adanya orang yang berhak dipidana karena perbuatan yang serupa. Mengingat sifat melawan hukumnya perbuatan mengirimkan informasi elektronik (objektif) bukan terletak pada diri si pembuat, misalnya bukan pemilik dari sistem elektronik yang digunakannya..

Sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut justru terletak pada isinya informasi berupa ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang bersifat pribadi. Maka tidak mungkin ada perbuatan serupa yang boleh dilakukan oleh seseorang yang berhak.

Perbuatan mengirimkan sesungguhnya include masuk dalam perbuatan mendistribusikan atau mentransmisikan ialah mengirimkan. Mengirimkan adalah menyampaikan (mengantarkan dan sebagainya) sesuatu (objek) dengan perentaraan (KBBI, 2008: 703) yang in casu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Adami Chazawi, 2015: 135).

Penulis:

Abdul Chamid Chaidar

 1Fakultas Hukum, Universitas Boyolali

email:

abdulhamidhaedar430@gmail.com

 

REFERENSI

Abdul Kadir Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Budi Suhariyanto, 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta : PT. Raja. Grafindo.

Muhammad Alam Akbar, 2013. Cyberbullying Pada Media Sosial, Jakarta : Gramedia

Novan Ardy Wiyani, 2012. Selamatkan Anak-anak dari Bullying di Sekolah. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Chazawi, Adami. 2015. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Malang: MNC Publishing.

 

 

Exit mobile version