JOGLOSEMARNEWS.COM Daerah Sragen

Lelakon Petani Sragen Kembali Menjerit Harga Gabah Panen Raya Njebluk Rp 3.500/KG. Sudah Tanam Diserang Tikus, Pupuk Mahal, Laku pun Dipotong sampai Rp 1 Juta

Petani di Tanon Sragen saat panen padi dengan menyewa mesin Kombi (combine harvester) di tengah jeritan harga gabah yang merosot tajam saat ini. Foto/Wardoyo
   

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Nasib petani padi di Sragen agaknya makin jauh dari kata sejahtera. Betapa tidak, memasuki panen raya musim ini, mereka kembali dipaksa menelan pil pahit harga gabah yang anjlok drastis.

Kondisi itu diperparah dengan produktivitas yang menurun akibat batang padi yang sebagian roboh diterjang hujan angin.

Hal itu memperburuk rentetan kemalangan yang harus dialami mulai dari serangan tikus di awal tanam, mahal dan sulitnya pupuk, hingga panenan yang di bawah perkiraan.

Parmanto (48) salah satu petani asal Dukuh Karanganom, Desa Taraman, Sidoharjo, Sragen menuturkan musim panen ini memang menjadi ujian berat bagi petani.

Sebab harga gabah kering panen atau harga di sawah, jauh merosot. Harga gabah saat ini hanya Rp 3.500 perkilogram sampai Rp 3.700 saja untuk yang bagus.

Padahal pada panen sebelumnya harga panen masih berkisar Rp 4.800 sampai Rp 5000 perkilogram. Tak hanya harga kiloan, harga tebasan oleh tengkulak juga merosot tajam.

Jika biasanya satu petak seperempat hektare bisa laku Rp 7,5 juta, saat ini paling mahal hanya laku Rp 5,5 juta.

“Punya saya 2 petak hampir setengah hektare, saya panen sendiri dan saya jual kiloan dapatnya 3,2 ton. Dapatnya uang total Rp 13,1 juta. Itu masih dipotong biaya panen kombi dan kuli Rp 1,4 juta. Sisa Rp 11,7 juta. Yang satu petak saya jual tebasan hanya laku Rp 5,5 juta,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Rabu (23/6/2021).

Baca Juga :  Geger Mobil Baru Langsung Rusak, Anggota DPRD Tulungagung Juga Mengalami Kerusakan Mobil Usai Mengisi Dexlite di SPBU Sragen

Dari tiga petak itu, ia mendapat hasil 17,2 juta. Padahal biaya produksi dari pengolahan lahan, tanam, pupuk hingga menjelang panen untuk 3 petak itu habis sekitar Rp 13 juta.

Belum lagi biaya tenaga untuk mengikat padi karena ambruk diterjang angin, satu petak habis Rp 1,2 juta.

“Kalau dikalkukasi nggak nutup lagi panenan dengan biayanya. Kalau hasil tonasenya masih lumayan, tapi harganya yang remuk. Padahal kami tenaga dan lain-lain kebanyakan kita tenagani sendiri,” urainya.

Tak hanya dirinya, nasib petani lain di wilayahnya juga sama. Untuk harga tebasan di sawah, rata-rata hanya laku antara Rp 5 sampai Rp 5,5 juta.

Padahal karena sebagian ambruk, petani harus keluar biaya tenaga untuk mengikat padi sekitar Rp 1,2 juta per petak. Sebab jika tidak diikat, padi yang ambruk tidak akan bisa berisi dan kesulitan dipanen pakai mesin.

“Habis di biaya. Pokoknya makin rekasa. Sudah tanamnya diawut tikus, mau mupuk jatah berkurang dan nonsubsidi mahal, panenan ditambah harga njebluk dan padinya ambruk,” timpal Sutarno (50) petani asal Desa Gawan, Tanon.

Bayaran Tebasan Dipotong

Senada, jeritan juga datang dari petani di Desa Kecik. Salah satu petani, Darmo Wiyono (58) menuturkan harga gabah di wilayahnya musim panen ini juga hanya berkisar Rp 3.500 sampai Rp 3.800 perkilo.

Untuk harga tebasan satu petak seperempat hektare maksimal hanya Rp 4 juta. Padahal normalnya bisa sampai Rp 6 juta dan harga gabah panen biasanya mendekati Rp 5.000 perkilo.

Baca Juga :  Bioskop legendaris Garuda Theatre Sragen: Kenangan Manis Masa Lalu
Kondisi padi yang ambruk menurunkan produktivitas dan harga jual. Foto/Wardoyo

Dengan harga seperti itu, petani sudah tidak mendapat untung sama sekali. Sebab margin antara panenan dengan biaya produksi dan tenaga, tidak lagi ada sisa.

“Taruhlah laku Rp 4 juta, untuk biaya saja sudah Rp 2 juta lebih. Karena dari nraktor, semai, tanam, pupuk dan merawat. Mungkin kalau sisa paling hanya Rp 1 juta dan nunggu 3 bulan. Padahal apa-apa kita kerjakan sendiri dan sawah sendiri. Sekarang pupuk jatahnya sedikit, beli nonsubsidi harganya sudah Rp 300.000 persak. Kalau sawahnya nyewa dan tenaga bayar orang lain, sudah pasti tambah tangisan,” tuturnya.

Kondisi buruknya harga diperparah dengan ulah para tengkulak yang tega memotong harga tebasan.

Darmo menambahkan hampir sebagian besar petani yang jual tebasan, kena potongan oleh tengkulak antara Rp 500.000 sampai Rp 1 juta saat membayar.

“Alasannya macam-macam. Yang hasilnya kurang bagus, yang njualnya susah, yang harganya jeblok dan lain-lain. Intinya mereka biar bisa ngurangi harga. Petani akhirnya hanya bisa pasrah,” tukasnya.

Mereka berharap, realita ini bisa menjadi perhatian pemerintah dan pengambil kebijakan. Sebab jika kondisi pupuk mahal, harga panenan dibiarkan merosot tanpa ada proteksi, lama-kelamaan petani akan semakin menderita.

“Kami juga heran, katanya negara agraris, ingin menyejahterakan petani dan mengejar swasembada. Lha kok nasibnya petani selalu susah dibiarkan saja. Pupuk kurang juga nggak ada tambahan, harga panen anjlok juga nggak ada perlindungan, serangan tikus juga tidak ada bantuan. Petani harus ngadu dan berharap ke siapa lagi,” tandasnya. Wardoyo

  • Pantau berita terbaru dari GOOGLE NEWS
  • Kontak Informasi Joglosemarnews.com:
  • Redaksi :redaksi@joglosemarnews.com
  • Kontak : joglosemarnews.com@gmail.com