JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan PPKM Darurat yang diperpanjang turut membuat pengusaha mal semakin was-was. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menuntut beberapa poin yang harus diupayakan pemerintah.
Pertama, Alphonzus meminta pemerintah untuk memberikan subsidi upah sebesar 50 persen bagi pekerja di sektor pusat perbelanjaan dan mal. Hal ini perlu diupayakan untuk membantu para pekerja yang kehilangan penghasilannya.
Selanjutnya, Alphonzus juga meminta pemerintah agar menghapus sementara Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB), Pajak Reklame, dan pajak / retribusi lainnya yang bersifat tetap.
Ketiga, dia juga menuntut agar ketentuan pemakaian minimum atas listrik dan gas dapat ditiadakan sementara.
Meskipun tidak beroperasi, pengelola pusat perbelanjaan masih harus membayarkan beberapa pajak dan tagihan di atas kepada pemerintah. Hal ini tentu menguras finansial mereka.
“Menegakkan pemberlakuan pembatasan secara tegas dan memastikan penerapan Protokol Kesehatan secara ketat, disiplin dan konsisten karena sangat dikawatirkan PPKM Darurat dapat berlangsung berkepanjangan dikarenakan penyebaran wabah Covid-19 saat ini sudah terjadi di tingkat yang sangat mikro yaitu di lingkungan dan komunitas yang paling kecil di kehidupan masyarakat,” terang Alphonzus sebagaimana dilansir dari Liputan6.com, Sabtu (17/7/2021)
Di sisi lain, Ketua Umum APPBI itu juga mengungkapkan enam kendala utama yang dihadapi pusat perbelanjaan saat PPKM Darurat diperpanjang.
Para pegiat usaha mayoritas tidak lagi memiliki dana cadangan. Ini terjadi karena dana tersebut sudah habis selama tahun 2020.
Ditambah lagi, kondisi defisit masih terbawa hingga tahun 2021 yang sudah memasuki paruh kedua ini.
“Memang benar bahwa kondisi usaha sampai dengan semester I/2021 adalah lebih baik dibandingkan dengan tahun 2020 yang lalu. Namun Pusat Perbelanjaan masih tetap mengalami defisit dikarenakan masih diberlakukannya pembatasan jumlah pengunjung dengan kapasitas maksimal 50 persen saja,” tutur dia.
Kendala juga dialami ketika pendapatan pusat perbelanjaan merosot tajam. Mereka harus membantu para penyewa untuk memberikan kebijakan dalam hal biaya sewa dan service charge.
Tidak hanya itu saja, pihak pusat perbelanjaan terus diwajibkan membayar berbagai pungutan dan pajak/retribusi. Meskipun harus tutup atau beroperasi secara terbatas, mereka tetap membayar berbagai tagihan itu kepada pemerintah.
Yang paling parahnya lagi, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ada di depan mata. Pekerja terancam dirumahkan ketika penutupan operasional terjadi.
Bahkan, sektor usaha nonformal mikro dan kecil juga terkena dampak buruknya.
“Di sekitar hampir semua pusat perbelanjaan banyak terdapat usaha non formal seperti tempat kos, warung, parkir, ojek dan lainnya yang harus ikut tutup dikarenakan kehilangan pelanggan. Mereka adalah pekerja yang sudah tidak ada lagi akibat pusat perbelanjaan tutup,” kata Alphonzus menegaskan.
Keadaan seperti itulah yang membuat para pekerja di pusat perbelanjaan semakin kesulitan, hingga sektor usaha di sekitarnya pun turut terseret pada keterpurukan. Linda Andini Trisnawati