Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Pedagang Kuliner Malam di Sragen Mulai Rame-Rame Menjerit. Buka 3 Jam Sudah Diminta Kukut, Omzet Anjlok Hingga 60 % Sampai Bingung Dikejar-Kejar Setoran

Suasana warung penyetan Mas Endro di tepi jalur kota Sragen, baru buka jam 18.00 WIB dan kini harus diminta kukut jam 20.00 WIB. Kondisi pembatasan itu banyak dikeluhkan pedagang dan membuat omzet turun drastis. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang diberlakukan mulai 3 Juli kemarin, mulai menuai keluhan dari para pedagang kaki lima di jalur Sragen Kota.

Mereka kini menjerit omzet pendapatan menurun drastis akibat pembatasan jam operasional yang makin dipersingkat.

Tak tanggung-tanggung, penurunan omzet mencapai 50 persen alias separuh dari omzet normal. Dampak paling tragis dialami pedagang kuliner yang mangkal di sepanjang jalur kota.

Kebijakan tutup usaha jam 20.00 WIB dinilai sangat memberatkan. Terutama bagi pedagang kuliner malam seperti penyetan, lamongan dan nasi goreng.

Salah satu pedagang penyetan yang mangkal di Nglorog Sragen, Endro mengaku sejak pemberlakuan PPKM Darurat, omzet jualannya anjlok drastis.

“Kemarin pandemi aja sudah turun 60 persen, ini ditambah PPKM Darurat tutup jam 20.00, omzet makin anjlok Mas. Dapat 40 persen saja nggak ada,” paparnya kepada wartawan, Senin (5/72/2021).

Endro menguraikan penurunan omzet terjadi karena jam buka warungnya kini makin pendek.

Biasanya ia buka warung jam 17.00 WIB dan bisa sampai malam, saat ini jam 20.00 WIB saja sudah diminta kukut oleh petugas.

Dengan durasi jualan hanya 3 jam, pendapatan pun otomatis tak lagi bisa diharapkan.

Menurutnya situasi ini sangat menyulitkan pedagang. Jika nekat dianggap pelanggaran, sementara jika harus tutup jam 20.00, maka akan menambah beban baru bagi pedagang.

“Bayangkan 3 jam jualan dapat berapa Mas. Padahal kami punya tanggungan setoran bank yang nggak bisa ditunda. Kalau dilarang jualan, yang nanggung biaya hidup kami siapa. Akhirnya sampai rumah berantem sama istri karena hasil jualannya nggak bisa nutup setoran, karena kalau rame sama petugas dianggap ngelawan pemerintah,” ujarnya.

Endro menuturkan bukannya pedagang kurang bersyukur masih diberi kesempatan jualan. Akan tetapi ia berharap pemerintah tidak saklek-saklek banget menerapkan aturan soal jam pedagang kuliner.

Selama ini pedagang juga sudah dan siap menaati aturan prokes. Seandainya diminta hanya melayani pesanan langsung dibawa pulang, pedagang pun siap.

Asalkan durasi operasional bisa diperpanjang tidak hanya jam 20.00 WIB. Sehingga pedagang juga bisa mendapatkan hasil.

“Aturan pemerintah tetap kami hormati, tapi mbok ya jangan saklek-saklek. Terus terang jika tutup jam 20.00 WIB, kami baru buka 3 jam, nggak bisa memenuhi setoran. Kalau jualan di anggap pelanggaran, terus yang nanggung biaya hidup kami siapa. Masalah hukum jangan untuk nakut-nakutin, karena kita lebih takut jika anak istri kelaparan,” tukasnya.

Senada, pedagang nasi goreng yang biasa mangkal di depan RSUD Sragen, Yoyok Supriyadi juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya sejak pembatasan operasional hanya sampai jam 20.00 WIB, omzetnya anjlok drastis hingga 50 persen.

Sebelum pandemi, setiap malam ia masih bisa mengantongi penghasilan Rp 900.000 dari jam 17.00 WIB sampai jam 24.00 WIB. Sejak PPKM darurat, pendapatannya hanya tinggal Rp 400.000 saja.

Hal itu karena ia kehilangan omzet dari pelanggan yang rata-rata ramai membeli antara jam 20.00 WIB sampai 22.00 WIB.

“Kalau disuruh aturan PPKM Darurat, terus terang kami sangat susah. Bayangkan buka jam 17.00 WIB, jam 20.00 WIB sudah tutup. Sementara nasi goreng memang hanya bisa jualan malam,” tuturnya.

Ia juga berharap pemerintah lebih bijak menjalankan aturan. Yakni tidak terlalu saklek menerapkan aturan. Sebab seni mencari nafkah berbeda-beda.

“Ketika pandemi aja ikut makan sudah Alhamdulillah. ketika ada PPKM darurat malah jadi nambah beban, karena kami harus dikejar setoran (bank). Kalau bisa ada toleransi lah, ngertiin kondisi orang kecil seperti kami. Toh kami siap seandainya diminta hanya melayani order lalu dibawa pulang,” ujarnya.

Sebelumnya, Pemkab melalui Bupati Sragen sudah menerbitkan Instruksi Bupati (Inbup) tentang pelaksanaan PPKM Darurat pada 2 Juli lalu.

Dalam Inbup itu mengatur operasional sejumlah sektor. salah satunya supermarket, toko kelontong dan pasar swalayan atau dengan sebutan lain yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasional sampai pukul 20.00 WIB.

Kapasitas pengunjung dibatasi maksimal hanya 50 persen. Kemudian pedagang angkringan, pedagang kaki lima, warung makan, cafe, restoran, rumah makan, dan sejenisnya baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi pada pusat perbelanjaan/toserba hanya menerima pesanan.

Jam operasionalnya pun juga dibatasi sampai 20.00 WIB. Kemudian kegiatan di pusat perbelanjaan, toserba, shopping center, toko tradisional, grosir, counter ponsel dan pusat perbelanjaan sejenis, juga dibatasi sampai 20.00 WIB. Wardoyo

Exit mobile version