Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Ribut Antar Tetangga, Jalan Masuk Langsung Ditembok. Yang Satu Dituduh Nyantet, Satunya Merasa Kesal Tak Tahu Balas Budi

Sukiyem (kiri), ibu Suparman saat berada di jalan masuk yang kini ditutup dengan tembok oleh tetangga depan rumahnya akibat kisruh antar tetangga. Kini, ia dan 2 anaknya kehilangan akses keluar dan harus lewat lorong sempit untuk akses keluar. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sebuah perseteruan dua tetangga yang berujung penutupan jalan terjadi di Kampung Teguhan RT 05 B/RW 02, Kelurahan Plumbungan, Karangmalang, Sragen.

Gara-gara berseteru, seorang warga langsung menutup jalan masuk ke rumah tetangga belakangnya dengan tembok.

Perseteruan itu melibatkan 2 tetangga yang tinggal berhimpitan. Sutari (65) tinggal di depan menghadap jalan raya Plumbungan-Sragen.

Sedang Suparman (42) dan ibunya, Sukiyem, serta adiknya, Wijayanti, tinggal di belakang rumah Sutari.

Jalan yang ditembok itu berada di samping rumah Sutari selebar 2 meter x 10 meter. Jalan itu kini ditutup dengan dibangun tembok setinggi 2 meter. Akibatnya Suparman dan keluarganya kehilangan akses.

Ia bahkan terpaksa harus membobol dapur rumahnya untuk membuat jalan alternatif keluar dari sisi utara. Selain sempit, jalan alternatif ini hanya memanfaatkan sela antar rumah dan hanya bisa dilalui sepeda motor.

Hasil penelusuran JOGLOSEMARNEWS.COM , ada pengakuan berbeda dari kedua belah pihak. Keluarga Sutari, yang menutup jalan dengan tembok mengaku terpaksa menutup jalan karena itu adalah lahan milik keluarganya.

Mereka kesal dengan tabiat tetangganya, Suparman yang tidak tahu balas budi dan sering berulah yang mengganggu ketenangan keluarga.

Sementara Suparman mengklaim merasa tidak ada masalah dan justru istrinya dituduh nyantet keluarga Sutari.

Kesal Tak Tahu Balas Budi

Saat ditemui wartawan di rumahnya, Warih Endah dan Niken Ardiyanti, putri Sutari mengatakan terpaksa menutup jalan itu karena itu sebenarnya bukan jalan umum. Namun jalan untuk keluarga Suparman itu diberikan oleh bapaknya sekitar 20 tahun lalu atas dasar rasa kemanusiaan.

Ia menceritakan, dulunya bapaknya merelakan tanah 2 meter untuk dibuat jalan agar Suparman yang bekerja menarik becak bisa membawa pulang becaknya.

Namun belakangan, keluarganya merasakan ada perubahan pada tabiat Suparman yang mulai sering bikin masalah.

Puncaknya ketika ibunya sakit parah terkena gula dan Covid-19 di rumah beberapa waktu lalu, Suparman justru menyetel musik keras-keras dan naik motor di jalan itu sambil mbleyer-mbleyer.

“Dulu waktu pas mbangun rumah Mamang (Suparman) minta jalan lewat Pakde saya. Dikasih 2 meter agar becaknya bisa masuk, jadi dulu alasan kemanusiaan saja. Sekarang kan sudah nggak punya becak. Tapi persoalannya karena 20 tahun dikasih jalan, dia sekarang malah buat masalah terus. Sebenarnya kami nggak ada masalah Mas,” ujar Endah.

Salah satu anak Sutari saat menunjukkan sertifikat tanah milik ibunya yang memang tidak ada gambar jalan. Foto/Wardoyo

Endah mengatakan pernah menegur dan meminta tolong ke Suparman agar bisa berempati ketika keluarganya ada yang sakit. Namun permintaan itu hanya diiyakan tapi tetap tak ada perubahan perilaku.

Karena habis kesabaran, keluarganya akhirnya memutuskan menarik kembali lahan untuk jalan ke rumah Suparman dan menemboknya dua hari lalu.

Meski dulunya direlakan untuk sosial, Endah mengatakan lahan untuk jalan Suparman itu tidak pernah dihibahkan. Sehingga di sertifikat tanah masih utuh dan tidak ada gambar jalan.

“Daripada ribut terus dan keluarga kami terganggu, ya lebih baik jalan itu ditutup. Kalau dia kesulitan jalan, kan masih ada jalan lain. Jalan yang resminya ada di belakang sana ke utara itu,” terang Endah.

Ia juga menyampaikan sempat ada permintaan damai dari Pak RT dan tawaran agar ditukar dengan lahan milik Suparman. Namun keluarganya menolak karena pekarangan Suparman dinilai tidak ada sertifikat.

Kemudian jika ditukar jelas nilainya dirasa akan berbeda karena di tepi jalan dan belakang rumah.

“Kami mau ditukar tapi kami mintanya 2 kali lipat karena tanah kami yang untuk jalan itu kan tepi jalan. Tapi tanahnya Mamang itu nggak ada sertifikatnya. Kalau sekarang kesulitan jalan dan punya uang kan bisa nembusi atau beli lahan warga yang dekatnya sana. Apalagi dari dulu sebenarnya jalannya di sebelah utaranya itu,” ujarnya.

Merasa Tak Ada Masalah

Sementara, Suparman mengatakan merasa tak ada masalah apa-apa dengan keluarga Sutari serta anak-anaknya.

Hanya saja, sekitar sebulan lalu, istrinya memang sempat terlibat ketegangan dengan salah satu anak dari Sutari. Bahkan sampai istrinya disumpah di bawah Alquran.

“Saya waktu itu pas nggak ada di rumah. Setahu saya dulu memang dikasih jalan sama pakdenya agar becak saya bisa masuk. Kemarin nggak ada omongan langsung ditembok. Saya duwiti (tukar uang) nggak mau, ditukar lahan saya samping juga nggak mau. Kayaknya niatnya nggak tetanggaan,” ujarnya.

Suparman menunjukkan bekas dapur rumahnya yang dibongkar demi mendapat akses keluar lewat lorong sempit. Foto/Wardoyo

Akibat jalan ditutup, Suparman dan keluarganya mengaku kesulitan untuk keluar masuk menuju akses. Ia hanya bisa keluar lewat akses sempit di sela-sela rumah di deretan belakangnya.

Terpaksa Bongkar Dapur

Untuk bisa lewat itu pun, ia terpaksa harus membongkar dapur rumahnya. Menurutnya ada 3 KK dengan 11 orang yang kini kesulitan akses. Tiga KK itu adalah dirinya, ibunya dan adiknya Wijayanti yang sudah berkeluarga.

“Saya sudah lapor sama Pak RT dan kelurahan katanya disuruh nunggu dulu. Harapan saya ya ada jalan keluar. Kalau ada kerepotannya misal ada hajatan atau meninggal, bisa ada jalan agak lebar. Kalau lewat utara itu sempit, hanya bisa lewat motor dan jalan kaki saja,” ujarnya.

Ia membenarkan memang dulunya sempat mbecak. Namun sejak pandemi dan sepi, becaknya ia jual dan kini banting haluan menjadi buruh serabutan.

Disumpah di Bawah Alquran

Sementara, istri Suparman, Sumarmi menceritakan ihwal kisruh dengan salah satu anak dari pemilik lahan sekitar sebulan lalu.

Saat itu, ia baru pulang dari belanja lewat di jalan samping rumah Sutari dan mendengar kalimat bernada menyumpahinya.

“Saya dengar pokoke sesuk mati sesuk mati. Lha saya kan terus datangi ke rumah. Mbak ada apa kok saya kon ndang mati ndang mati. Anaknya bilang mati kowe tukang santet bojomu arep ngremuk keluargaku. Saya nggak tahu apa-apa, saya hanya kerja mbantu orang jualan nasi goreng. Lalu ada yang bilang jipukne Alquran sumpahen Mbak Marmi. Lalu bilang juga, omongo karo bojomu, karo mbokmu dalane arep tak tutup. Katanya anaknya itu punya indera keenam. Tapi kami nggak tahu santet-santet, kok disuruh ngaku. Sebelumnya memang nggak ada masalah apa-apa. Baik-baik saja,” katanya.

Penampakan jalan lorong sempit yang kini jadi akses keluar keluarga Suparman, ibu dan adiknya pasca jalan utamanya ditutup tembok. Foto/Wardoyo

Terpisah, saat dikonfirmasi wartawan, Lurah Plumbungan, Puryanto menyampaikan sudah menindaklanjuti sengketa 2 warga itu. Pihaknya sudah mengecek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama ketua RT terkait sertifikat. Hasilnya, memang tidak ada akses jalan di lokasi tersebut.

Selain itu dari keterangan warga, akses jalan itu awalnya memang dibuat karena kasihan, yang menempati rumah di belakang punya becak.

”Dikasih jalan, tapi tanah buat jalan itu masih atas nama hak milik rumah yang depan,” ujarnya.

Menurutnya, jalan yang resmi memang gang kecil di sebelah rumah yang bersengketa tersebut.

”Tetap ada akses jalan untuk keluar masuk. Jadi tidak total tertutup,” ujarnya.

Kelurahan sudah melakukan mediasi dengan pemilik lahan. Dari pemilik lahan menutup untuk kebutuhan rumah tangga dan menyatakan tidak ada masalah.

Meski agak terbatas, jalan kecil di sebelah utara 3 KK itu nantinya akan dibersihkan dengan kerja bakti warga. Wardoyo

Exit mobile version