Beranda KOLOM Risma dan Anger Management

Risma dan Anger Management

Mensos Tri Rismaharini dalam sebuah kegiatan penyaluran PKH. Foto/Wardoyo
Oleh: DHIMAM ABROR DJURAID*

Oleh : Dhimam Abror Djuraid*

Pernah menonton film ‘’Anger Management’’? Film bergenre komedi ini menyajikan kisah yang lucu dari tokoh-tokoh yang punya problem dengan persoalan kemarahan.

Ada tokoh bernama Dave (Adam Sandler), yang tidak bisa marah sama sekali. Bukan penyabar, tapi dia tidak bisa marah meskipun kepada orang yang paling dibenci dan membuatnya menderita. Ada juga Frank (Luis Guzman), yang keterlaluan emosinya, sampai marah-marah setiap saat kepada bawahannya, termasuk kepada Dave.

Dua karakter ini sama-sama punya kelainan psikologi dalam mengendalikan kemarahan. Lalu muncullah seorang ahli penyakit jiwa Dr Buddy (Jack Nicholson), yang menjadi konsultan untuk menyembuhkan penyakit Dave dan Frank yang bertolak belakang.

Terapi yang diberikan Dr. Buddy aneh dan unik, cenderung nyeleneh. Saking nyelenehnya sampai Dr. Buddy dikira tidak waras. Dari berbagai keanehan peran inilah muncul berbagai adegan kocak.

Dave sulit marah, sampai-sampai, Linda (Marisa Tomei) pacar Dave, marah karena tidak pernah dimarahi oleh Dave. Frank emosinya berlebihan dan keterlaluan.

Setiap saat bisa saja meledak kemarahannya tanpa sebab, atau hanya karena sebab-sebab kecil. Dr Buddy yang ahli jiwa ternyata mirip ODGJ, orang gila. Tapi, dengan kegilaan itu Dr Buddy bisa menyembuhkan penyakit Dave dan Frank.

Dr. Buddy hanya tokoh rekaan. Tapi, tokoh eksentrik seperti Dr Buddy ini perlu didatangkan ke Indonesia, untuk memberikan terapi Anger Management (mengelola kemarahan) kepada pejabat yang suka marah-marah berlebihan kepada bawahannya di depan umum.

Menteri Sosial Tri Rismaharini, mungkin, harus mengikuti terapi ala Dr Buddy, karena ia terlihat punya problem serius dalam cara mengelola kemarahan.

Sejak menjadi walikota Surabaya due periode, 2010 sampai 2020, dan ketika menjadi menteri sosial sampai sekarang, Risma sering gagal mengelola kemarahannya, sehingga emosinya meledak tak terkendali depan umum.

Kali ini Risma kembali viral di media sosial karena marah-marah. Ia tertangkap kamera memarahi seorang ASN (aparatur sipil negara) dalam sebuah kunjungan kerja di Gorontalo.

Dalam sebuah pertemuan, Risma yang sedang memberi pengarahan, tiba-tiba bangkit dengan marah dan menghampiri ASN yang duduk di deretan kursi paling belakang.

Dalam video berdurasi 1,17 menit itu Risma berjalan setengah berlari ke arah ASN sambil menudingkan remote pointers ke arah ASN. Risma terdengar beteriak ‘’Tak tembak kamu’’. Risma juga terdengar berteriak mengusir, ‘’Keluar kamu’’.

Bukan itu saja, ketika sudah berada di depan ASN itu Risma masih menumpahkan kemarahan dengan suara keras. Sang ASN berdiri dari kursinya, tapi Risma dengan cepat mendorong dada ASN itu sampai terduduk lagi.

Aksi Risma ini memantik reaksi keras dari Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie. Rusli mengecam Risma secara terbuka dan mengatakan bahwa tindakan Risma itu tidak patut dilakukan oleh seorang pejabat negara. ‘’Apalagi beliau seorang menteri,’’ kata Rusli (2/10).

Baca Juga :  Dukungan Makin Deras Mengalir, Kali Ini Tokoh Katolik se-Serengan Deklarasi Dukung Respati-Astrid

Rusli terus terang mengatakan dirinya tersinggung oleh tindakan Risma. Bagaimanapun ASN itu adalah anak buah Rusli di Gorontalo, meskipun secara struktural ASN itu berada di Departemen Sosial yang dipimpin Risma.

Dengan tegas Rusli mengatakan bahwa tindakan Risma ini tidak boleh didiamkan. Rusli meminta Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin untuk mengevaluasi performa Risma, karena bagaimana pun sebagai menteri Risma mewakili presiden dan wakil presiden.

Rusli menambahkan, publik tahu prestasi Risma di Surabaya yang sukses memimpin selama dua periode. Tapi, kali ini Risma menjadi menteri dan memimpin anak buah di seluruh Indonesia. ‘’Saya khawatir ada reaksi,’’ kata Rusli.

Ini adalah kesekian kalinya Risma marah-marah kepada anak buah dan menjadi viral. Sebelumnya Risma tertangkap kamera memarahi anak buahnya di Bandung.

Ketika itu Risma marah dan mengancam akan memutasi anak buahnya ke Papua. Penyebutan mutasi ke Papua ini memantik reaksi dari publik, karena dianggap mendiskriminasi dan mendegradasi Papua yang dipersepsikan sebagai daerah terpencil.

Juni lalu, Risma juga marah-marah ketika berkunjung ke Alor, NTT. Risma memarahi seorang petugas karena dianggap lambat bekerja. Bupati Alor, Amon Djobo bereaksi keras terhadap sikap Risma itu. Amon Djobo bahkan dikabarkan memaki Risma.

Karena sikapnya ini Amon Djobo malah kena kartu merah oleh PDIP yang mencabut dukungan terhadap Djobo. Dalam pilkada 2019 yang lalu PDIP menjadi parpol pengusung Amon.

Tapi, karena berani melawan Risma, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung mengumumkan pencabutan dukungan terhadap Amon, dan pada Pilkada berikut PDIP tidak akan memberikan rekom kepada Amon.

Risma mendapatkan proteksi penuh dari partainya. Semua tahu, Risma adalah anak emas Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP. Sejak menjadi walikota Risma selalu menjadi kebanggaan Mega, yang dengan terbuka memuji Risma di berbagai kesempatan.

Di internal PDIP kader perempuan yang menonjol memang langka. Pernah ada Rustriningsih yang dianggap sebagai the rising star. Dia menjadi bupati Kebumen yang sukses selama dua periode sampai 2008. Kemudian Rustri menjadi wakil gubernur Jateng mendampingi Bibit Waluyo.

Rustri kecewa karena tidak mendapatkan rekom partai ketika ingin maju menjadi gubernur pada 2014. PDIP lebih memilih Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur ketimbang Rustri. Kecewa terhadap partai, Rustri membelot mendukung Prabowo pada Pilpres 2014. PDIP pun menjatuhkan vonis pecat seumur hidup terhadap Rustri.

Setelah Rustri baru kemudian muncul Risma. Kali ini Risma tidak menjadi anak nakal seperti Rustri. Risma benar-benar menjadi anak kesayangan Mega.

Ketika masa jabatan Risma habis–dan kebetulan ada lowongan menteri sosial setelah Juliari Batubara ditangkap KPK–Risma langsung mendapat reward menjadi menteri sosial.

Baca Juga :  Kampanye Terakhir, Respati-Astrid Apresiasi Antusiasme Seluruh Pendukung dan Parpol Pengusung

Risma adalah menteri yang di-handpicked  langsug oleh Mega. Ia kader perempuan yang langka, kalau tidak satu-satunya di PDIP. Proyeksinya cukup panjang ke depan. Mungkin Risma dipersiapkan untuk mengisi kursi gubernur DKI. Atau, mungkin, Risma diproyeksikan ke Pilpres 2024.

Kursi gubernur DKI akan lowong ditinggalkan Anies Baswedan tahun depan. Presiden Jokowi akan punya kewenangan penuh untuk ‘’handpick’’ pelaksana tugas gubernur sampai 2024. Risma punya peluang besar untuk dicomot sebagai gubernur ad interim, sekaligus mempersiapkan diri untuk berkontestasi pada 2024.

Risma menjadi jago yang dielus-elus dan digadang-gadang PDIP. Tapi, beberapa insiden kegagalan Risma dalam melakukan ‘’anger management’’ bisa menjadi problem serius.

PDIP pasti mencatat kelemahan Risma ini. Sikap emosionalnya yang tidak terkendali ini bisa memberi damage (kerusakan) terhadap reputasi pribadi dan partainya.

Risma juga bukan seorang pemain tim yang baik. Rekam jejaknya selama sepuluh tahun di Surabaya menunjukkan bahwa Risma adalah solo player, pemain tunggal yang lebih suka bermain ‘’one person show’’.

Pada masa pertama kepemipinannya, Risma sudah berseteru dengan Bambang DH, mantan walikota yang rela turun kelas menjadi wakil walikota mendampingi Risma. Bambang hanya bertahan setahun saja dan memilih mundur.

Pada periode kedua Risma didampingi oleh Whisnu Sakti Buana sebagai wakil walikota. Selama mendampingi Risma nama Whisnu nyaris tidak terdengar. Ia selalu berada di sideline, garis pinggir, tanpa peran yang berarti.

Whisnu bersabar menunggu kesempatan sampai kepemimpinan Risma berakhir pada 2020. Tetapi, ketika Whisnu maju sebagai calon walikota, dia tidak mendapat rekom dari PDIP. Sebaliknya, PDIP merekom Ery Cahyadi yang menjadi pilihan langsung Risma.

PDIP dan Mega terkesan sangat memanjakan Risma. Itu juga yang menjadikan Risma sekarang menjadi ‘’political spoiler’’, anak manja politik, yang sering tidak bisa mengendalikan emosi. Hal ini bisa merugikan dan merusak karir politik Risma sendiri.

Mumpung belum terlambat, Risma harus segera ikut terapi ‘’anger management’’. Risma harus mencari Dr Buddy untuk menjadi terapis dan konsultan. (*)

 

—*Penulis adalah wartawan senior—