Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Pengembangan Madu di Jateng

Khafid Sirotudin. Foto:dok

 

Oleh : Khafid Sirotudin*

Hari itu, 28 orang duduk rapi di halaman depan rumah yang luas milik Eko Suharno, Kades Jlegong, Kecamatan Bejen, Temanggung, Jateng. Semua pesertanya perempuan, emak-emak dari Kelompok Tani Wanita Desa Jlegong.

Semangat belajar ibu-ibu kelompok wanita tani Jlegong luar biasa. Turut hadir disana Agus Wariyanto, Kepala Dinas Ketahanan Pangan (Dishanpan) Pemprov Jateng, Perwakilan Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan Pemkab Temanggung, Kades Jlegong, PPL wilayah Bejen dan dari HIBTAKI (Himpunan Budidaya Ternak Klanceng Indonesia).

Kami dari HIBTAKI datang berdua dengan Rifqi, sarjana pertanian UMY yang skripsinya tentang vegetasi/tanaman pakan  Klanceng di Gunung Kidul, Yogyakarta.

Selama 2 hari berturut-turut, kami diminta Dishanpan Jateng untuk membantu kegiatan Sosialisasi Pengembangan Madu di 2 lokasi yang dijadikan pilot program. Pertama, hari Selasa 23 November 2021 di Pemalang. Tepatnya di desa Kebon Gede, Kecamatan Bantar Bolang. Di Pemalang kegiatan diikuti Ketua dan anggota Poktan mayoritas laki-laki dan 3 perempuan. Kedua, hari Rabu 24 November 2021 di Temanggung yang semua pesertanya perempuan/wanita tani.

Sekitar 80 persen lebih penduduk kedua desa bekerja dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian sebagai petani, peternak dan pekebun di ladang sekitar kawasan hutan. Adapun secara geografis, kedua desa dikelilingi hutan negara dan perkebunan milik PTPN.

 

Sejuta Koloni Klanceng

 

Hampir semua orang mengetahui bahwa madu merupakan asupan pangan yang berkhasiat sebagai obat, bahan pangan bernutrisi sangat baik bagi kesehatan dan kebugaran, serta beragam manfaat lain. Yang menjadi perhatian justru adanya fakta-fakta kontra produktif di  lapangan terkait produk madu.

Di antaranya, masih rendahnya tingkat konsumsi madu di Indonesia. Yakni berkisar 10-20 gram per kapita per tahun. Setara dengan 1-2 sendok makan per orang setiap tahun. Maka kamipun tidak kaget setiap kali melemparkan pertanyaan ke peserta pelatihan atau sosialisasi : ‘sudahkah bapak/ibu pagi tadi minum madu ?. Maka pemandangan yang umum terjadi yaitu tak ada seorangpun yang mengacungkan jarinya. Atau kalo toh ada paling hanya 1-2 orang.

Maka sebelum kami menyampaikan atau melanjutkan materi tentang hal ihwal budidaya lebah madu klanceng, kami biasakan sedekah sesendok madu murni/asli untuk semua peserta. Begitu juga yang kami lakukan di Pemalang dan Temanggung.

Saat ini, Indonesia menduduki posisi ke 140 dari 170 negara dalam hal tingkat konsumsi madu. Begitu juga dengan tingkat produksi madu dunia. Kita masih tertinggal dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam yang tidak memiliki SDA sebaik dan sebanyak Indonesia.

Malaysia memimpin produktivitas madu klanceng. Dan Vietnam telah berhasil mengoptimalkan produksi getah tanaman karet bersinergi dengan pengembangan lebah madu dengan sumber pakan utama nektar floral (bunga) tanaman karet.

Koloni lebah pekerja (female bee worker) adalah hewan penyerbuk tanaman yang paling handal. Hampir 80 persen tanaman hortikultura (buah dan sayuran) penyerbukannya dilakukan lebah. Sisanya dilakukan oleh kumbang, semut, kupu-kupu dan serangga lainnya.

Setiap tahun kita masih mengimpor 5.000-10.000 ton (5.000.000-10.000.000 kilogram) madu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dan industri makanan minuman. Paling banyak berasal dari China, Thailand dan Australia. Besarnya angka impor tersebut hanya perkiraan kami, karena belum ada data shahih dari BPS.

Masalah lain permaduan di Indonesia terkait aspek kelembagaan. Budidaya lebah madu dan peternak madu belum memiliki ‘ibu dan bapak asuh’ yang baik. Para peternak, pembudidaya dan pembolang lebah madu ibarat sekumpulan anak ayam yang kehilangan induk.

Fasilitasi dan pembinaan pembudidaya lebah madu (sting-bee dan stingless-bee) menjadi domain siapa belum begitu jelas. Apakah Kementrian KLH, Kementan, Perum Perhutani, PTPN, Dinas Pertanian/Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Kehutanan ataukah Dinas Perdagangan dan Industri.

Maka kami selaku founder HIBTAKI, pembudidaya klanceng di Jawa Tengah sangat mengapresiasi Dinas Ketahanan Pangan Pemprov Jateng yang berani berinovasi dan menginisiasi program Pengembangan Madu berbasis Ketahanan Pangan Keluarga, terutama bagi masyarakat pedesaan.

Pemberdayaan kelompok tani dengan mengandeng stakeholders terkait yang memiliki kepedulian dan konsentrasi pada budidaya lebah madu, khususnya lebah klanceng. Apalagi gubernur Jateng, Ganjar Pranowo telah mengapresiasi dan menyampaikan ketertarikannya untuk mengembangkan madu klanceng dalam kunjungannya pada kelompok tani peternak klanceng di Magelang dan Purworejo beberapa waktu lalu.

Program yang sedang dijalankan Dishanpan Jateng selaras dengan program HIBTAKI untuk mewujudkan sejuta koloni klanceng di Jawa Tengah pada 2023. Jika cita-cita kita bersama dapat terwujud, maka setidaknya Jateng mampu berkontribusi sebesar 10-15% untuk mengurangi besarnya impor madu nasional.

Jika program ini juga ‘disengkuyung’ dengan penambahan koloni lebah madu Apis mellifera dan Apis cerrana sebanyak 100.000 stup, maka Jateng akan menjadi kontributor utama pemenuhan kebutuhan madu nasional hingga 20 persen. Dan apabila program Sejuta Koloni Lebah Madu diduplikasi menjadi program nasional oleh 15-20 pemprov se Indonesia, maka ketahanan pangan dan kemandirian madu nasional akan terwujud.

Permasalahan lain terkait madu, yaitu masih banyaknya madu SOS (Sirupan-Oplosan-Sintetis) atau madu palsu yang beredar di masyarakat. Adanya economy gap yang lebar antara suplly dan demand madu di dalam negeri menjadi salah satu pemicu munculnya madu SOS.

Apalagi saat permintaan madu meningkat pesat dimasa pandemi Covid-19, sejak Maret 2020 hingga Agustus 2021. Minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang madu murni/asli serta daya beli yang belum tinggi semakin mendorong

produsen dan penjual madu SOS/palsu menemukan marketshare nya.

 

Berkelanjutan

 

Budidaya lebah madu di Indonesia, khususnya spesies Apis mellifera, sudah berjalan 50 tahun dan diawali oleh Apiari Pramuka pada 1971. Membentang dari ujung barat pulau Jawa di Banten ujung timur di Banyuwangi Jatim.

Apiari Pramukalah yang pertama kali memperkenalkan budidaya lebah madu berpenyengat (sting-bee) Apis mellifera. Sampai-sampai masyarakat umum menyebutnya Lebah Madu Pramuka.

Kebetulan salah satu outlet Apiari Pramuka berada di Gringsing Batang, berbatasan dengan tempat tinggal kami di Weleri kabupaten Kendal. Sudah hampir 30 tahun kami menjadi pelanggan madu dari saudara dan teman-teman peternak Apis mellifera wilayah Gringsing yang sebagian besar sudah kami kenal dan istiqomah menjadi peternak lebah madu. Bahkan sebagian diantaranya sudah berganti generasi, setelah orang tua mereka meninggal dunia atau renta.

Timbul pertanyaan di benak kami, mengapa kehadiran Apiari Pramuka yang sudah berusia 50 tahun (1971-2021) belum mampu menjadi pengungkit prime-mover produktivitas madu nasional, sehingga sampai sekarang Indonesia masih mengimpor madu?. Bukankah SDA Indonesia sangat luar biasa serta memiliki 7 spesies lebah madu bersengat Apis sp dan 70-an spesies lebah tanpa sengat. Menyebar nerata di hampir seluruh pulau se Indonesia ?

Kurang berhasilnya beragam program pemerintah–untuk tidak mengatakan gagal di sebagian besar program–pada bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan, disebabkan oleh beberapa faktor.

Salah satunya tidak adanya tindak lanjut, follow-up pasca pelatihan berupa pendampingan intensif dari pihak pemerintah daerah, PPL dan para nara sumber yang biasanya diisi oleh para cerdik pandai atau akademisi yang mahir berteori tapi minim pengalaman praktek sebagai praktisi. Program berhenti pada saat proses pelatihan selesai dilaksanakan dan pemberian paket bantuan barang, peralatan dan perlengkapan diserah-terimakan.

Belajar dari pengalaman tersebut, maka kami dari HIBTAKI  bertekad untuk melakukan  pendampingan budidaya terhadap 2 kelompok petani yang menjadi pilot program Dishanpan Jawa Tengah.

Sebagaimana yang sudah kami lakukan selama satu setengah tahun melakukan pendampingan kepada peserta  pelatihan dasar budidaya klanceng yang sudah kami selenggarakan selama ini.

Pendampingan selama setahun dan tidak berbayar/gratis yang akan kami lakukan disambut baik oleh Kepala Dishanpan Jawa Tengah. Semoga kerjasama sinergis kelompok tani, Pemerintah Desa, PPL, HIBTAKI dan Dishanpan Jateng mampu mewujudkan monumen amal shalih yang sukses dan menjadi sedekah jariyah semua pihak yang rela berperan serta membangun kemakmuran masyarakat di pedesaan.

Wallahu’alam

 

* Penulis adalah Founder HIBTAKI, Pembudidaya Klanceng, Pemerhati Pangan.

Exit mobile version