JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan integrasi yang dilakukan oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja bagi lebih dari 2.000 pegaawai Non-PNS eks KPNK riset dan teknologi.
Demikian diungkapkan oleh Forum Komunikasi Eks Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan Ristek. Kejadian itu, memiliki pola serupa ketika Laksana menjadi pemimpin di LIPI pada 2018 yang memutus kerja para pegawai honorer.
Forum tersebut menilai, kebijakan integrasi Kepala BRIN Laksana Tri Handoko bahkan tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
“Dalam implementasinya, proses integrasi tersebut menimbulkan kekisruhan, kekacauan yang disebabkan oleh kepemimpinan LTH sebagai Kepala BRIN,” kata mantan Kepala LIPI, Lukman Hakim dalam konferensi pers, Rabu (5/1/2022).
Forum itu beranggotakan sejumlah peneliti senior hingga mantan pimpinan LPNK yang saat ini dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), seperti LIPI, BATAN, LAPAN, BPPT, Eijkman, dan Kementerian Ristek.
Menurut Lukman dkk, Kepala BRIN juga mengambil kebijakan sepihak dan menutup pintu aspirasi dari warga BRIN. Bahkan, kata dia, Laksana mengabaikan garis kebijakan kepemimpinan nasional tentang pelaksanaan iptek dan inovasi.
Ia mencontohkan pimpinan BRIN membuat garis kebijakan bahwa riset bertujuan untuk menciptakan publikasi dan hak kekayaan intelektual, bukan pada penciptaan atau pemanfaatan produk teknologi yang berdampak pada masyarakat.
Kebijakan Laksana juga dinilai mengabaikan best practice pelaksanaan iptek dan inovasi karena mengharuskan sumber daya manusia berkualifikasi S-3. Padahal, variasi jenjang kualifikasi dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dalam kelompok riset.
“Kebijakan ini yang menyebabkan peneliti-peneliti Eijkman yang telah menyatu dan menjalankan fungsi-fungsi dalam kelompok riset di Eijkman tidak dapat diakomodasi dan menerima pemutusan hubungan kerja,” kata dia.
Dalam menjalankan kebijakannya, Kepala BRIN dinilai tidak melakukan mitigasi atas terhentinya layanan iptek entitas BRIN kepada negara dan masyarakat. Misalnya, Lukman menyebutkan, berhentinya layanan Eijkman dalam mengatasi pandemi dan layanan pemantauan tsunami di luar jam kerja karena sebagian besar bergantung pada penggunaan SDM nonPNS.
“Dari fakta-fakta tersebut, terlihat jelas bahwa telah terjadi kesalahan pelaksanaan integrasi kelembagaan iptek dan inovasi yang justru akan mengarah pada pelemahan kemampuan riset nasional yang disebabkan oleh kepemimpinan LTH di BRIN,” ujar Lukman.