SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM — Punya hajatan di musim penghujan memang kadang menghadirkan kendala tersendiri bagi warga di wilayah pedesaan.
Sudah menjadi rahasia umum, tak sedikit warga desa hingga kini masih meyakini jasa pawang hujan untuk menyingkirkan mendung dan mencegah hujan turun.
Nah bersamaan dengan musim hajatan yang kini banyak digelar di tengah kondisi musim penghujan saat ini, nama Mbah Eyang Sugiyo asal Bangan, Ketro, Tanon, barangkali salah satu pawang yang laris didatangi warga.
Entah hanya kebetulan atau memang ada keterkaitan, faktanya tangan dingin dan jampi-jampi Sugiyo akhirnya bisa mencegah hujan turun di salah satu hajatan warga di Tanon, Selasa (1/2/2022) siang.
Semula empunya hajat sempat ketar ketir. Mendung tebal bergelayut dan menjadi ancaman acara hajatan yang lagi gayeng-gayengnya.
Tanpa pikir panjang, pemilik hajatan itu langsung mendatangkan Eyang Sugiyo. Setiba di lokasi hajatan, Sugiyo yang akrap dikenal dengan sebutan Mbah Awan Kinton itu langsung beraksi.
Sejenak pria paruh baya itu berdiri seperti melakukan meditasi. Tangannya memegang sebuah pusaka lalu mulutnya komat kamit melafalkan mantra sembari menatap ke angkasa.
Anehnya, tak lama kemudian mendung tebal yang sebelumnya menghiasi langit sekitar hajatan, mendadak bergeser.
Pemilik hajatan dan tamu yang hadir pun akhirnya lega. Hingga sore hajatan rampung, lokasi hajatan ternyata terhindar dari hujan.
Menurut salah satu cucu Sugiyo, Wiratno kemantapan dan keyakinan do’a kepada Sang Pencipta Alam menjadi kunci dari prosesi menolak hujan yang sama ini dilakoni kakeknya.
Meski terkesan bernuansa klenik dan melawan takdir, namun kakeknya selama ini menjalankan prosesi menolak hujan dengan tetap memanjatkan doa kepada Allah sang pencipta.
“Sebelum hadir untuk nolak hujan, biasanya ada beberapa prosesi ritual yang dijalani terlebih dahulu. Seperti tidak tidur baik siang dan malam hari. Malamnya biasanya semedi di salah satu tempat yang sepi dan berdoa. Ada beberapa pantangan juga yang harus dipatuhi,” ujar pria yang akrab disebut Wirat itu, Rabu (2/2/2022).
Wirat menjelaskan setiap pawang hujan punya tradisi dan prosesi masing-masing. Eyangnya atau Mbah Sugiyo sendiri biasanya membawa uborampe khusus acapkali diminta jasanya membantu menolak hujan.
Seperti pusaka yang dibungkus sebuah kantong dari kain sebagai alat tempurnya. Tak hanya pusaka, uborampe pun mengikuti kearifan lokal yang telah leluhur ajarkan. Setiap komponennya memiliki makna tersendiri.
“Seperti sapu gerang dan kipas sebagai perlambang untuk menyapu baik awan mendung, kesombongan diri yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa izin sang penguasa (Allah SWT),” ujarnya.
Ditambahkan Wiratno,saat diminta mawang hujan, eyangnya biasanya sudah datang ke lokasi sehari sebelum puncak acara. Kemudian menunggu di lokasi sampai acara selesai untuk memastikan kondisi.
Memasuki musim hajatan dari hujan saat ini, permintaan untuk menolak jika banyak diterima kakeknya.Banyaknya permintaan, terkadang 1 hari 1 malam bisa berkunjung ke 5 lokasi.
“Bahkan mawang saat perhelatan turnamen sepak bola juga sudah sering. Tapi yang beli banyak di hajatan,” jelasnya.
Sementara, Mbah Sugiyo menyampaikan sapu yang dibalik bermakna membalikkan semua godaan yang mengganggu ritual.
Begitupula dengan kembang piton, 7 cabe dan bawang merah melambangkan agar senantiasa mendapatkan pertolongan dari sang pencipta.
“Garam grasak atau garam kasar untuk mengusir tolak bala bekasakan atau dari gangguan dari makhluk gaib yang mengganggu,” paparnnya disela – sela mawang hujan.
Selama 20 tahun dipercaya jadi pawang hujan, Sugiyo tak pernah memasang tarif untuk jasa yang ia berikan. Namun seringkali, ia menerima upah antara Rp 200.000 – 400.000 sekali membantu.
“Nggak kita patok bayarannya. Yang jelas niat kami membantu. Bahkan sampai ada yang hanya memberi sembako saja, ya tetap kita layani,” tandasnya. Wardoyo