Site icon JOGLOSEMAR NEWS

“Gus Dur Kecil” di Rumah Besar PWI

Margiono (kanan) dan Amir Machmud. Foto: Sasongko Tedjo

 

Oleh: Amir Machmud NS*

RENTETAN ngobrol di Solo pada 2016, di Jakarta 2018, dan di Yogyakarta 2018 cukup untuk memberi kesimpulan kepada saya, Margiono ibarat “Gus Dur Kecil di Rumah Besar PWI”.

 

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Periode 2008-2018 itu, tadi pagi (Selasa 1 Februari 2022) pukul 09.45 meninggal dunia di RSPP Modular, Jakarta. Mas Mg — demikian panggilan akrab almarhum — wafat ketika masyarakat pers sedang menyiapkan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022, 9 Februari nanti.

 

HPN, bagi saya, sangat kental dengan kesan tentang Margiono. Salah satu “ritus” dalam puncak Peringatan HPN Tingkat Nasional, semasa kepemimpinan beliau adalah menunggu pidatonya yang khas. Para ketua umum PWI Pusat, dalam sejarah masing-masing, memiliki seni, aksen, dan gestur pidato sendiri-sendiri, namun Mg memberi kesan khusus.

 

Di Solo 2016 saya sempat ngobrol “ngalor-ngidul” dengan beliau ketika menghadiri pelantikan sahabat saya, Anas Syahirul Alim sebagai Ketua PWI Solo. Berikutnya, di Hotel Santika, Slipi Jakarta pada 2018 dalam silaturahim menjelang Kongres Solo saya juga berdiskusi ringan. Selanjutnya, yang lebih intens dalam acara makan malam di Yogyakarta pada 2018 beberapa bulan selepas kongres.

 

Dalam sejumlah kesempatan itu, beliau menyatakan sepandangan dengan saya tentang pentingnya “budaya PWI”, ekosistem sikap yang menurut saya antara lain diwarnai oleh gaya kepemimpinan Margiono.

 

Dia bukan seorang yang “tertib” dan “disiplin” dalam administrasi organisasi, namun mampu meng-cover masalah-masalah organisasi dengan pendekatan “budaya”. Saya sulit menjelaskan detail indikator-indikator seni kepemimpinannya, akan tetapi bisa merasakan terpayungi oleh coverage beliau.

 

Dalam pertemuan di Jakarta 2018, Mas Mg mengaku tidak mengira ketika saya menyimpulkan sejumlah kesan terhadap gaya kepemimpinannya. Beliau sepakat tentang “budaya PWI” sebagai passion merawat organisasi profesi kewartawanan ini, yakni dengan menjadikannya sebagai rumah besar bersama.

 

Gagasan makro itu tentu membutuhkan terjemah struktural lewat kapasitas manajemen teknis administrasi, lewat orang-orang yang dia percaya untuk menekuni. Sementara itu, pemikiran-pemikiran yang “memayungi” mampu berinteraksi dengan ekosistem media, sosial, politik, dan ekonomi; bergerak dalam bingkai “rumah bersama” tadi.

 

Pidato Khas

 

Secara personal, apa yang paling menarik dari seorang Margiono?

 

Menurut saya, pidatonya. Pidato Mg adalah orasi khas produk ramuan visi seorang wartawan senior, dalang, dan humor-humor khas pesantren.

Di hadapan Presiden, dengan gaya ringan dia akan “nabrak” kiri-kanan, atas-bawah dengan humor yang diakhiri “punch line” berkelas. Siapa pun yang menerima kritik lewat pidatonya, bakal sulit “marah”, dan hanya tersenyum simpul.

 

Setiap kali menyimak pidato HPN-nya, saya selalu ingat Abdurrahman Wahid. Gaya Mg betul-betul mengingatkan pada Presiden era reformasi itu.

Ketika saya menyampaikan kepadanya tentang istilah “Gus Dur Kecil” itu, Mg hanya tertawa. “Isa-isa wae…,” katanya.

 

Sayang, beliau belum sempat memberi terjemah lebih detail tentang “budaya PWI” itu, kecuali mengingatkan agar organisasi profesi tertua dan punya anggota terbanyak ini betul-betul dijaga sebagai “rumah besar bersama”.

 

Dalam diskusi di Solo, Margiono memang sempat menyinggung mengenai pekerjaan-pekerjaan teknis organisasi untuk memayungi anggota, memberi kenyamanan, menguatkan kebanggaan, dan menjadikannya sebagai “rumah yang betul-betul dibutuhkan”.

 

Sejumlah pernyataan dari ngobrol dan diskusi informal itulah yang kemudian saya ekstraksikan ketika menyampaikan sambutan dalam berbagai kesempatan, “Mengapa kita membutuhkan PWI?”, “Mengapa Kita Bangga kepada PWI?”, yang akhirnya sampai pada muara, “Cintai dan rawat organisasi profesi ini…”

 

Sangat sering saya meminjam dan memodifikasi ucapan pendiri ormas Islam Muhammadiyah KH Ahmad Dahlah, “Hidup-hidupilah PWI, dan jangan mencari hidup dari PWI…”

 

Dengan pikiran inilah saya mengenang Mas Margiono, dan tak akan berhenti saya mencoba memaknai bagaimana membangun dan merawat “budaya PWI”.

 

*Penulis adalah Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah

Exit mobile version