Oleh : Anas Syahirul*
Selamat jalan Pak Margiono, semoga Allah SWT menerima amal baikmu. Pak MG, begitu biasa dia disapa berpulang ke haribaan Tuhan YME pada Selasa (1/2/2022) pagi sekitar pukul 09.45 WIB. Para handai tolan masih melantunkan zikir tahlil buat beliau.
Banyak cerita dari sosok wartawan yang meninggal di usia 62 tahun ini. Saya mulai mengenal secara langsung ketika saya mulai aktif di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Surakarta. Bertemu di acara HPN untuk sekedar menyapa dan tentunya mendengarkan pidatonya di momen Hari Pers Nasional (HPN) yang selalu bikin kangen atau acara yang lain.
Sewaktu aktif belajar jurnalistik di Jawa Pos Biro Solo kisaran tahun 1996-1997 dan berlanjut di Radar Solo pada tahun 2001, nama Margiono sudah sering saya dengar lewat pembicaraan para senior Jawa Pos kala itu. Apalagi ia menjadi penerus pertama Dahlan Iskan sebagai Pemimpin Redaksi di Jawa Pos.
Perkenalan lebih intens ketika beliau melantik saya bersama kepengurusan PWI Surakarta yang lain di Solo, 5 Juni 2016. Saya sempat ragu apakah dia akan datang secara langsung pada pelantikan Pelantikan pengurus PWI Surakarta. Karena H-1 pelantikan, belum ada kepastian dia akan hadir atau tidak termasuk naik apa ke Solo sehingga harus kita siapkan penjemputan.
Kami hanya diberitahu, Pak MG akan datang ke Solo. Ketika japri dengannya dan menawarkan penjemputan di bandara serta akomodasi, Pak MG hanya bilang singkat : “Ketemu di Solo Mas, saya datang. Rasah dipethuk (tidak usah dijemput),” ucap dia.
Rupanya dia datang malam hari menjelang hari pelantikan, dan menginap di salah satu hotel pilihannya sendiri tanpa memberitahu kami terlebih dulu. Pak MG baru memberitahu ketika sudah berada di hotel. Tipikal pengurus pusat yang tidak suka protokoler, tidak mau merepotkan dan tidak suka dilayani. Dari cerita yang saya dapat, MG memang sosok yang suka berbaur dengan siapapun, tidak bergaya bos, dan gampangan. Artinya, gampang menyesuaikan dengan situasi. Misalnya tidur pun tidak pilih-pilih hotel, pergi tidak pilih-pilih pesawat kalau ke daerah, dan seterusnya. Bahkan saat menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos, dia masih sering tidur di atas meja kantor dengan berselimut sarungnya.
Pelantikan di Pasar
Pak MG kaget ketika diberitahu pelantikan Pengurus PWI Surakarta dilangsungkan jam 07.00 pagi WIB karena semula mengira pelantikan seperti undangan pada umumnya jam 10.00 WIB.
Yang ditanyakan pertama kali, “Kepagian gak untuk tamu undangan,” tanyanya. Kami jawab semua sudah dikondisikan. Dan terbukti semua tamu undangan hadir termasuk Walikota Solo saat itu, FX Hadi Rudyatmo, termasuk sahabat kami Ketua PWI Jateng, Mas Amir Machmud dan rombongan yang harus rela berangkat pagi-pagi habis Subuh dari Semarang. Kami jelaskan mengapa pelantikan dipilih pagi, guna menunjukkan semangat pagi dalam bekerja dan berbakti untuk PWI Surakarta.
Keterkejutan kedua, soal baju yang akan dikenakan. Beliau sudah membawa baju batik. Tapi kemudian kami sodorkan kaos warna merah untuk dresscode pelantikan dengan sejumlah tulisan di kaos yang sudah disiapkan panitia.
“Lho pakai kaos,” tanya dia.
“Iya Pak,” kata kami.
Lalu kami jelaskan alasan mengapa pakai kaos di acara pelantikan, karena batik lebih mencerminkan orang mapan, baju juga terkesan formal, maka kami memilih kaos karena mencerminkan siap kerja keras untuk PWI Surakarta. Pak MG yang mendengar, tertawa lebar dan mengacungkan jempol.
Namun ternyata ukuran yang kami siapkan tidak muat, panitia menyiapkan ukuran XL namun rupanya beliau XXL. Untungnya dan secara kebetulan beliau juga membawa kaos warna merah yang dipakai semalam. “Yo wis pakai ini saja gakpopo ya, sing penting podho wernane (Ya sudah pakai ini saja yang penting sama warnanya),” katanya santai.
Keterkejutan dan penasaran beliau belum usai. Beliau kaget lagi ketika dijemput dan diantar ke lokasi pelantikan. Kami beritahu pelantikan Pengurus PWI Surakarta tidak digelar di gedung pertemuan, rumah makan atau hotel. Melainkan dilangsungkan di pasar tradisional, tepatnya di Halaman Pasar Triwindu, salah satu pasar tradisional yang menjadi ikon Kota Solo. Soal Pasar Triwindu sudah banyak ceritanya, dicari di google akan ketemu karena jadi pasar tradisional lawas.
“Wah unik ini, apik (bagus) idenya,” komentarnya sambil tersenyum setiba di lokasi pelantikan.
Kami cerita ke beliau, kalau pelantikan di hotel, di ruang tertutup itu biasa. Harus dicari yang berbeda dan bermakna. Kami mengambil pasar tradisional sebagai tempat pelantikan untuk memberikan simbol pengurus harus merakyat, berbaur dan melayani.
Suguhannya pun menu tradisional seperti nasi liwet, soto, sate kere dan lainnya. Pak MG pun tampak sumringah, begitu pula saat menyampaikan sambutan. Saat itu dia menyampaikan kesukaannya dengan model pelantikan pengurus yang dilakukan di halaman pasar tersebut, sesuatu yang belum pernah dia jumpai di seluruh Indonesia. Apalagi dilakukan pagi hari saat pasar lagi ramai.
Dalam kesempatan itu, ia menitipkan pesan bahwa wartawan itu kerja intelektual dan profesional, sehingga harus selalu meningkatkan wawasan dan kapasitas serta kemampuan jurnalistiknya. Itu bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan. “Dan harus dekat masyarakat.”
Perkenalan dengan Pak MG makin intens ketika PWI Surakarta akhirnya ditunjuk PWI Pusat sebagai tuan rumah Kongres PWI di tahun 2018. Awalnya tekad PWI Surakarta menjadi tuan rumah kongres bermodal nekat, lantaran tak punya biaya operasional awal. Ada beberapa tempat lain selain Solo yang direncanakan sebagai lokasi kongres. Semangat saat itu hanya karena risih dengan “gangguan” yang mempersoalkan keberadaan Hari Pers Nasional tanggal 9 Pebruari yang lagi kencang. Maka kami ingin Kongres PWI digelar di Solo untuk napak tilas kehadiran PWI dan landasan kemunculan Hari Pers Nasional yang dilandasi peristiwa heroik para pejuang pers kala itu di Solo.
Dalam sebuah kesempatan menjelang rapat penentuan tuan rumah kongres, saya sempat ditanya sekilas oleh Almarhum.
“Solo siap jadi tuan rumah kongres?,” tanyanya kepada saya seakan belum yakin.
Saya jawab, “Insya Allah siap Pak. Banyak teman yang siap membantu,” jawab saya meyakinkan beliau meski dalam hati saya bingung biaya operasional awal.
Meski biaya penyelenggaraan akomodasi menjadi tanggung jawab pusat, kami harus tetap mengurusi hal lain mulai jamuan wellcome dinner, hiburan dan pernik-pernik lainnya. Modal kas jelas kami gak ada, tapi berkat bantuan banyak teman dan mitra termasuk dukungan luar biasa dari PWI Jateng, akhirnya Kongres di Solo bisa terlaksana dengan sukses.
Komunikasi dengan beliau cukup intens saat persiapan Kongres PWI. Saya pernah mampir dan berdiskusi di ruangnya di Kantor PWI Pusat. Bertanya dari dia soal PWI. Dia cerita soal regenerasi di tubuh PWI, pengelolaan anggaran, hingga menyebut soal nama yang dia harapkan bisa mengelola PWI sebagai sebuah teamwork.
Dalam persiapan Kongres, suatu ketika beliau menelpun menyatakan keinginannya akan mendalang di sela-sela kongres dan menanyakan kepada saya apakah bisa menyiapkan keperluan yang dibutuhkan saat wayangan mulai dari gamelan, anak wayang, dan keperluan lainnya. Dia juga memberi nomor telpun saudaranya yang aktif di ISI sehingga bisa membantu menyiapkan pementasan wayang kulit, dalangnya dia sendiri.
“Aku pingin ndalang di hadapan temen-temen PWI, sekalian sebagai salam perpisahan kepengurusan. Tolong dibantu ya Mas,” pinta dia saat itu.
Pak MG memang penggemar wayang dan juga pinter dalang. Dia pernah bercerita punya hobi menonton wayang kulit sejak kecil. Dan ingin sekali menunjukkan kemampuannya mendalang di acara milik wartawan. Dan keinginannya mendalang di acara wartawan pun terpenuhi. Kami senang bisa membantu mewujudkannya.
Sehari sebelum jadwal pembukaan, beliau menanyakan lagi ke saya untuk memastikan apakah Presiden jadi bisa datang. Saya jawab Insya Allah bisa. Karena saya dapat info, beliau (presiden) ada agenda di Provinsi DIY dan siangnya dijadwalkan meluncur ke Solo untuk membuka Kongres PWI. Pak MG bilang ke saya waktu itu, kalau Pak Presiden bisa datang ke Kongres PWI di Solo maka akan menjadi sejarah karena baru pertama kali kongres PWI dihadiri presiden. Kalau HPN sudah menjadi tradisi presiden selalu hadir, namun kalau kongres presiden biasanya diwakilkan ke menteri. Begitu cerita Pak MG kepada saya. Dan alhamdulillah, di Solo inilah akhirnya Kongres PWI bisa dihadiri Presiden. Kami turut bangga bisa menjadi sejarah seperti yang diceritakannya.
Ada yang menarik lagi selain keinginannya mendalang di acara kongres. Dalam ngobrol santai membahas kesiapan pelaksanaan kongres, Pak MG bilang apa kira-kira yang bisa menarik perhatian Pak Jokowi saat datang ke kongres. Mengingat Pak Jokowi suka yang out of the box. Saya waktu itu usul, peserta mengenakan pakaian adat. Tapi dengan berbagai pertimbangan gak mungkin terpenuhi lantaran waktu tinggal dua hari. Akhirnya ketemu ide, semua peserta kongres mengenakan blangkon, penutup kepala khas Solo.
Saya pun diminta Pak MG membeli blangkon sebanyak peserta kongres. Karena hanya punya waktu dua hari, kami pun kalang kabut lantaran tidak mungkin memesan atau membeli di satu tempat karena persediaan blangkon pasti sedikit. Blangkon bukan barang kebutuhan harian dan hanya dibutuhkan saat tertentu sehingga sudah pasti stok di toko tidak banyak. Akhirnya saya menyebar beberapa orang untuk mendatangi penjual-penjual blangkon dan pengrajinnya. Syukurlah bisa terkumpul untuk peserta kongres. Rupanya blangkon yang dikenakan peserta saat pembukaan Kongres itulah yang dikomentari pertama kali oleh Presiden Jokowi. Dan menjadi bahan intermezzo Presiden sebelum menyampaikan materi pokok sambutan.
Dari pertemuan dan obrolan-obrolan intens dengannya dalam dua momentum itulah, saya bisa memaknai MG adalah sosok yang fasih membaca keadaan dan pintar berempati kepada orang lain. Dia punya kecerdasan intelektual dan juga emosional yang sama baiknya. Sosok wartawan senior yang egaliter, tidak suka dilayani dan merepotkan orang lain, bersahaja, dan tidak pelit untuk berbagi ilmu dan wawasan. Inilah Wartawannya wartawan atau Wartawan Yang Wartawan….tak suka formalitas, tak suka dilayani, tidak pelit berbagi dan yang jelas mau mendengar meski dengan wartawan-wartawan muda. Karena kadang wartawan yang sudah jadi bos atau sudah senior kemudian jadi ‘melangit’ tak mau ‘membumi’ lagi. Margiono sosok wartawan yang tetap membumi….
Saya jadi ingat usai melantik kepengurusan PWI Surakata, saat ngobrol berdua dia memberi wawasan bahwa mengurusi organisasi wartawan itu tidak gampang. Sambil menikmati nasi liwet, dia pun banyak cerita soal pengalamannya memimpin PWI Pusat mengelola ribuan wartawan yang sering suaranya berbeda-beda. Dia juga cerita pentingnya perencanaan anggaran organisasi hingga program-program peningkatan kapasitas wartawan. Kunci keberhasilan organisasi profesi itu adalah seberapa banyak kita menggelar kegiatan yang orientasinya untuk peningkatan keahlian dan profesionalitas anggotanya. Selamat Jalan Pak MG, semoga Tuhan memberi tempat terbaik. (*)
—*Penulis adalah Ketua PWI Surakarta—