SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wacana pemberlakuan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai syarat sejumlah pengurusan administrasi Surat Izin Mengemudi (SIM), SKCK, Umrah hingga jual beli tanah, terus menuai penolakan.
Selain tidak relevan, kebijakan tersebut juga dinilai bakal makin menambah kesulitan rakyat di tengah terpaan pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
“Menurut hemat kami, itu kebijakan yang konyol dan tidak berdasar. Bagaimana kepesertaan BPJS yang kesehatan kok dijadikan syarat untuk pengurusan administrasi bidang lain yang tidak ada keterkaitan. Itu sama halnya mempersulit rakyat,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Minggu (6/3/2022).
Legislator dari Dapil Sragen, Karanganyar, Wonogiri itu menilai jika tujuannya hanya mendongkrak kepesertaan BPJS, pemerintah mestinya mengedepankan solusi yang tidak membebani masyarakat.
Misalnya dengan mengevaluasi pengelolaan BPJS dan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan.
Sebab selama ini, masih banyak keluhan masyarakat terkait buruknya pelayanan kesehatan yang diterima peserta dengan fasilitas BPJS kesehatan.
“Selama ini masih banyak yang mengeluh standar obat untuk pasien BPJS juga dibedakan.alu pelayanan juga terkadang ada kesan dinomorduakan karena pakai BPJS. Kalau dibiarkan seperti itu terus, kasihan masyarakat. Sudah mereka disuruh bayar duluan, kalau sakit mau pakai pelayanan malah seperti dianaktirikan,” jelasnya.
Legislator asal Gerindra itu menyampaikan mestinya pemerintah berempati dengan kondisi masyarakat saat ini.
Sebab dampak pandemi yang dua tahun melanda, sedikit banyak telah membuat semua sektor terpuruk. Terlebih sektor perekonomian juga belum bisa pulih sepenuhnya.
Jika masyarakat yang masih susah, harus dibebani membayar premi BPJS setiap bulan yang nominalnya puluhan hingga di atas Rp 100.000, hanya untuk mengejar syarat mengurus SIM, STNK, atau jual-beli tanah, maka hal itu dinilai sebuah pemaksaan.
“Bukan kami tidak setuju, tapi cara dan kebijakannya yang tidak pas. Tidak peka terhadap kondisi rakyat dan menurut saya kalau dipaksakan justru akan makin menyengsarakan rakyat. Makanya kami justru cenderung lebih baik kebijakan itu dibatalkan saja. Lebih banyak mengusahakannya daripada membantu masyarakat,” tandas legislator asal Gerindra itu.
Sekadar tahu, merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan, ketentuan bagi peserta mandiri selanjutnya diatur dalam Pasal 34 Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Jumlah iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas III menurut aturan itu, ditetapkan sebesar Rp 42.000 per bulan.
Namun, yang perlu diketahui, tarif itu terdiri dari dua komponen, yakni iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan peserta dan subsidi dari pemerintah.
Sebelum Perpres Nomor 64 Tahun 2020 mulai berlaku, peserta mandiri kelas III membayar iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp 25.500 setiap bulan karena mereka menerima subsidi senilai Rp 16.500.
Dengan subsidi itu, total iuran BPJS Kesehatan per peserta tetap sebesar Rp 42.000. Mulai 1 Januari 2021, subsidi yang diberikan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000 per orang per bulannya.
Sehingga peserta kelas III BPJS Kesehatan harus membayar iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp 35.000 per bulan. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
Sebelumnya, anggota DPRD Sragen, Bambang Widjo Purwanto menilai kebijakan BPJS kesehatan sebagai syarat pengurusan administrasi lain itu sebagai sesuatu yang aneh.
Sebab menurutnya BPJS diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 Bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Artinya, lanjutnya, ketika BPJS sudah dipergunakan menjadi syarat beberapa pengurusan administrasi lain di luar jaminan kesehatan, hal itu yang menjadi aneh.
“Namun demikian karena itu Inpres monggo saja. Hanya saja saya sampaikan beberapa catatan dan alasan saya tadi,” tandasnya.
Kebijakan pemberlakuan BPJS sebagai syarat pengurusan SIM, STNK, jual beli tanah, dan pendaftaran umrah itu sempat memantik keluhan dari masyarakat.
Salah satu warga Sragen, Yanto (30) asal Tanon, Sragen mengaku keberatan dengan kebijakan kepesertaan BPJS menjadi syarat mengurus SIM dan STNK tersebut.
Menurutnya hal itu akan sangat membebani warga terutama di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk dampak pandemi saat ini.
Selain itu, kebijakan BPJS untuk mengurus SIM m, STNK dan juga jual beli tanah maupun urusan lainnya, itu dikhawatirkan akan makin menyusahkan warga.
Terlebih selama ini, pelayanan pasien dengan fasilitas BPJS juga masih banyak dikeluhkan karena merasa dianaktirikan dari pasien umum.
Ia memandang mestinya urusan kesehatan tidak dicampuradukkan dengan urusan administrasi lain yang bisa membuat masyarakat makin terbebani.
“Kalau nyari SIM dan STNK harus pakai BPJS, sama artinya memaksa warga yang ekonomi menengah ke bawah untuk menjadi miskin. Sebab tiap bulan harus setor BPJS. Padahal kondisi ekonomi saat ini sangat susah, untuk makan saja sulit apalagi setor BPJS ratusan ribu perbulan. Ini kebijakan yang aneh dan menyengsarakan warga. Kami tidak setuju,” ujarnya kepada wartawan, Sabtu (26/2/2022). Wardoyo